Jumat, 05 Maret 2010

ISLAM LIBERAL DAN RASIONAL:
KAJIAN ATAS PEMIKIRAN SYED AMEER ALI
Oleh: Alimuddin Hassan Palawa*

Akal adalah hukum [Syariah] yang diwahyukan dalam diri manusia,
begitu pula hukum yang diwahyukan itu adalah akal di luar diri manusia….
Pendeknya, sumber dari semua sifat baik dan asal-usul
Dari semua kesempurnaan adalah akal.”
[Filosuf Safawiyah: Mulla Muhsin Faydh Kasyani]

A. Pendahuluan
Pada tataran realitas, ungkapan “al-Islâm yu’lâ wa la yu’lâ ‘alaîh” (Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengatasinya), sepertinya sudah tidak relevan karena tidak memenuhi kenyataan empirisnya, dan hanya bersemayam pada tataran idealitas. Benar, dulu umat Islam memang pernah membuktikan kebenaran ungkapan tersebut. Ungkapan itu hanya (telah) berlaku pada masa silam, tetapi tidak untuk umat Islam dewasa ini yang terpuruk. Kemudian, bagaimana objektivikasi ungkapan itu di masa sekarang dan mendatang? Sebelum mencapai kembali bahwa “al-Islam yu’la wa la yu’la ‘alaih”, terlebih dahulu umat Islam mesti membuktikah bahwa Islam adalah “Salih fi kulli zamân wa makân” (selaras dengan waktu dan tempat). Artinya, umat Islam seyogyanya mengejawantahkan agamanya agar dapat menghadapi dan menjawab tantangan modernitas di kekinian dan di kedisinian.
Dalam mencermati problem-problem dihadapi dunia Islam, di kalangan intelektual dan pemikir pembaharuan Muslim terdapat beberapa variasi pandangan dan pemikiran tentang sebab-sebab kejumudan, keterbelakangan dan kemerosotan kaum Muslim. Begitu pula, dalam mencari solusi pemecahan dari problem-problem tersebut terdapat beberapa varian pandangan dan pemikiran. Namun, rumusan sebab-sebab dan formula upaya-upaya pemecahan kejumudan, keterbelakangan dan kemerosotan umat Muslim tersebut, sepertinya masih jauh “panggang dari api.” Sehingga dewasa ini, menurut Nurcholish Madjid, dunia Islam (masih) merupakan kawasan bumi paling terkebelakang di antara penganut agama-agama besar di jagad ini.
Sebetulnya kondisi memilukan ini tidak perlu berlanjut hingga kini, minimal mengurangi jarak ketertinggalan, kalau saja umat Islam, misalnya mau menyahuti seruan gagasan beberapa pembaharu, khususnya seperti Muhammad Abduh dan Syed Ahmad Khan, masing-masing dari Mesir dan Indo-Pakistan, untuk kembali menangkap ajaran agama Islam yang lebih kreatif, dinamis dan logis, segaligus lebih otentik serta mampu menangkap “api Islam” dan meninggalkan “abunya”, sebagaimana yang pernah diperagakan oleh umat dalam sejarah Islam klasik selama berabad-abad. Namun kenyatannya tidaklah demikian, jangankan menangkap “api” Islam, umat Islam justru meninggalkan ajaran agamanya dan hanya menggenggam “abunya”. Karenanya, Muhammad Abduh benar ketika mengatakan, “umat Kristen maju karena meninggalkan agamanya; dan ummat Islam mundur karena meninggalkan agamanya.”
Jika direnungkan lebih mendalam ungkapan Muhammad Abduh ini akan menghasilkan argumen bahwa menjadi rasional dalam Islam adalah inheren (melakat dalam) agama itu sendiri, sedangkan pada orang Barat adalah tantangan terhadap agamanya. Jika alur logika ini diteruskan, argumen berikutnya bahwa menjadi modern dan ilmiah dalam Islam adalah konsisten dengan ajaran agama Islam, sedangkan pada orang Barat berarti penyimpangan dari agamanya. Belakangan, menurut Rahman, pandangan pemikiran semacam ini dipopolerkan dan diperdebatkan dengan intens oleh ahli hukum dan pemikir Anak-Benua India yang terkemuka: Syed Ameer Ali. Maka sangat logis dan relevan kalau ia mengungkapkan bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad bukanlah agama yang membawa kepada kemunduruan. Tetapi sebaliknya, Islam adalah agama rasional yang mengantarkan kepada kemajuan.
Untuk membuktikan pandangannya ini, Syed Ameer Ali kembali merujuk kepada sejarah kegemilangan/ kejayaan umat Islam klasik. Akan tetapi, pandangan dan sikap Syed Ameer Ali seperti ini tidak jarang oleh orang Barat (orientalis) dipandangnya sebagai apologia terbesar. Maksud Syed Ameer Ali mengungkapkan kejayaan Islam klasik, bukanlah sekedar untuk “onanisme” (pemuasan diri) sesaat, sembari menepuk-nepuk dada dengan bangga. Akan tetapi, curahan perhatian dalam kepentingan historis dan budaya Islam yang, menurut Rahman, tak diragukan lagi mempunyai beberapa kecenderungan:
…. dipergunakan sebagian untuk tujuan-tujuan kontroversialis melawan Barat dan sebagian sebagai tindakan apologetik untuk melindungi kepercayaan diri kaum Muslimin vis-vis budaya Barat yang kuat dan meluas. Tetapi ini jelas bukan masalah keseluruhannya, karena pada dasarnya motivasinya adalah pembaharuan. … dimaksudkan untuk mendorong kaum Muslimin agar menerima intelektualitas dan humanisme Barat modern sebagai perkembangan yang sebenarnya dari puncak peradaban Islam itu sendiri, bahkan sebagai pesan Islam yang sejati.
Lebih jauh dari itu, dalam pandangan Syed Ameer Ali, ada pelajaran menarik yang dapat dijadikan pengalaman historis: apa penyebab umat Islam klasik maju, dan apa pula penyebab (setelah itu) umat Islam menjadi mundur. Menurut Syed Ameer Ali, solusi-jawabnya singkat, meskipun tidak sederhana: Liberalisme dan rasionalisme Islam. Karenanya, lewat karya-karya, khusus karya masterpiece-nya, The Spirit of Islam, Syed Ameer Ali, melebihi penulis manapun, benar-benar telah menampilkan konsepsi Islam liberal dan rasional secara konkrit, substansial dan memuaskan. Pemikiran Syed Ameer Ali bahwa Islam adalah agama rasional dan liberal ini sangat berpengaruh di dunia Islam.
Tak pelak lagi, konsepsi Islam sedemikian ini telah mendapat pengakuan secara bulat dan penuh semangat dari umat Islam terpelajar yang sebelumnya secara diam-diam telah merasa dikecewakan atas penampilan konsepsi Islam yang konservatif dan tradisional. Sampai batas tertentu, dia telah berhasil mencapai sasarannya, dan bahkan lebih penting lagi, ia sukses menggerakkan ulama ortodoks-konservatif untuk menerima dan mendukung gagasan yang dipaparkan dalam bukunya tersebut.
Untuk itu, tulisan sederhana ini akan memaparkan pandangan-pandangan Syed Ameer Ali secara umum tentang sebab-sebab kejayaan umat Islam klasik; seraya diiringi dengan sebab-sebab kemundurannya. Berikutnya, tulisan ini menyorot, di antara sekian banyak pokok-pokok pemikirannya, untuk meninjau beberapa gagasan liberal-rasionalnya, tiga diantaranya tentang: (i) poligami dalam Islam; (ii) perbudakan dalam Islam; dan (iii) kehidupan eskatoloigi dalam Islam. Begitu pula, sebelum memaparkan ketiga pandangan-pandangan Syed Ameer Ali, terlebih dahulu diungkap jejak-jejak historis kejayaan Islam klasik dalam mengejawatahkan Islam liberal dan rasional, sebagai landasan-pijakan. Dan suatu keniscayaan bagi makalah ini untuk memulai dengan memaparkan riwayat hidup tokoh dimaksud seala-kadarnya.
B. Riwayat Hidup Syed Ameer Ali
Tidak diragukan lagi, Syed Ameer Ali merupakah salah seorang dari tokoh pembahruan pemikiran Islam yang sangat mondial. Ia seorang sejarawan, pengacara dan ahli hukum yang sangat menghargai liberalisme dan rasionalisme dalam bertindak dan berpikir. Syed Ameer Ali dilahirkan pada 6 April 1849 di Chinsura, Bengal, daerah di bagian Calcutta, India. Dia dilahirkan dari keturunan keluarga syi’ah yang, sebelum kelahirannya, berimigrasi dan untuk bergabung dengan sebuah komunitas kecil pengukit Muslim Syi’ah keturunan orang Iran (Persia). Kakeknya, Ahmad Afzal Khan adalah seorang prajurit angkatan bersenjata Nadir Syah yang ikut melakukan ekspansi ke Delhi, India, dan akhirnya menetap di sana. Sedangkan ayahnya, Sa’adat Ali Khan adalah seorang dokter dari keluarga yang terhormat dan kaya ketika itu. Keluarga ini bekerja di Istana Raja Moghol dan Awadh. Akhirnya keluarganya bekerja pada kompeni (Inggris) di India Timur.
Syed Ameer Ali memulai pendidikannya di Muhsiniyyah College di Calcutta. Di lembaga pendidikan inilah dia belajar bahasa Inggris, sastra dan hukum. Di samping itu dia juga belajar dasar-dasar agama langsung dari seorang maulvi (guru). Tetapi ia tidak pernah berhubungan secara signifikan dengan Bengali atau mengikuti pelatihan dan pendidikan dalam bahasa Arab secara substansial; pendidikanya dijalaninya dalam bahasa inggris, dan dilengkapi dengan bahasa Persia dan Urdu. Sedari dini ia sangat dipengarhui oleh sayyid Karamat Ali (1796-1876) yang menuliskan ajaran-ajarannya dalam bahasa Urdu dengan tradisi rasionalisme Mu’tazilah dan skolastisisme Syi’ah.
Minat Ameer Ali terhadap ilmu, khususnya tentang sejarah dan sastra telah terlihat sejak dia berusia dini. Terlihat misalnya, ketika di lembaga ini ia sudah membaca buku-buku penting, seperti The Dacline and Fall of the Roman Empire karya Gibbon, Paradise Lost karya Milton, dan beberapa karya Shakespeare. Karya Gibbon tersebut, misalnya telah selesai dibacanya ketika dia masih berusia dua belas tahun. Bahkan sebelum bersia dua puluh tahun Ameer Ali juga telah membaca karya-karya penting, misalnya karya Byron, Long Fellow, Keast dan penyair-penyair lainnya, misalnya karya Thackeray dan Scott serta karya Scelly sampai dihapalnya.
Setelah menyelesaikan pendidikannnya di kota Calcutta, dia melanjutkan pedidikannya di Inner Temple, Inggris di tahun 1869. Pada masa-masa inilah ia memulai menulis karya monumentalnya, The Spirit of Islam. Dia menyelesaikan pendidikannya dengan merahi gelar kesarjanaan dibidang hukum pada 1873. Setelah menyelesaikan pendidikannnya di Inggris, ia kembali ke India. Di tanah kelahirannya Ameer Ali bekerja dalam berbagai lapangan keilmuan yang penting. Di samping bekerja sebagai pegawai pemerintahan Inggris, ia juga menjadi pengacara, politikus dan bahkan sebagai guru besar dalam bidang hukum serta sekaligus sebagai seorang penulis yang produktif dan otoritatif. Ia dikenal sebagai orang yang luas pengetahuannya, sehingga namanya tidak asing di dunia Barat dan dunia Timur.
Di bidang politik, ditahun 1877 ia mendirikan perkumpulan orang Muslim India dengan nama National Muhammaden Association. Gerakan politik ini segera meluas menjadi organisasi yang berskala nasional dengan mempunyai 34 cabang yang tersebar dari Madras hinggga di Kerachi. Perkumpulan ini dibentuknya dimaksudkan untuk memberikan pendidikan politik dan upaya pengembangkan kesadaran politik serta sekaligus untuk menjaga kepentingan bagi ummat Islam di India. Sehingga, Syed Ameer Ali tidak sepenuhnya setuju dengan pendirian Sir Syed Ahmad Khan yang ingin memajukan ummat Islam hanya dalam bidang pendidikan. Menurutnya, upaya dilakukan Sir Akhmad Khan meniscayakan diiringi dengan pemikiran dan kegiatan dalam bidang politik. Belakangan pandangan Syed Ameer Ali ini dielaborasi dan M. Iqbal dan diaplikasikan Ali Jinnah dalam membentuk teori negara berdaulat, yaitu mendirikan negara Islam Pakistan berdaulat terlepasa dari negara India.
Dalam perjalanan aktivitasnya di dunia politik praktis pada 1883 ia ditetapkan salah seorang dari tiga anggota “The Victory’s Council” (Perwakilan Raja Inggris) berasal negeri jajahan di India; dan ia bahkan satu-satunya dari golongan Islam. Setalah berhenti di Pengadilan Tinggi Bengal di 1904, ia kembali ke London dan menetap di sana untuk tinggal beserta istrinya, Isabella Ida Konstam, seorang wanita berbangsa Inggris. Dua tahu keberadaannya di Inggris dia diangkat menjadi anggota “The Judicial Committee of the Privy Council” di London dan ia merupakan orang India pertama yang menduduki jabatan tersebut. Seperti halnya dengan Sir Akhmad Khan, Syed Ameer Ali merupakan pemimpin dan pemikir Muslim menyenagi dan dekat dengan pemerintahan Inggris. Oleh karena itu, baginya, pemerintahan Inggris adalah suatu alternatif untuk menghindari kemungkinan dan lepas dari dominasi orang-orang beragama Hindu di India setelah kemerdekaan diperolehnya.
Setelah berada di London, ia mendirikan cabang Partai Liga Muslim pada 1906. Namur, belakangan (1913) Syed Ameer Ali keluar dari organisasi tersebut karena Partai Liga Muslim bergabung dengan Partai Kongres Nasional India dibawah pimpinan Mahatma Ghandi untuk menuntut pemerintahan tersendiri dari Inggris. Selama keberadaannya di Inggris dia terlibat pula dalam upaya-upaya perundingan di London terhadap rancangan pembaharuan politik India. Setelah perang dunia I ia tampil dalam pergerakan Khilafah guna melobi pemerintahan Inggris. Suratnya bersama Agha Khan yang dikirim kepada Perdana Menteri, Ismet Pasha, kemudian menjadi presiden II Turki, menimbulkan tantangan keras di Turki. Belakangan khilafah di dunia Islam benar-benar di hapus sama sekali pada 1924. Akhirnya, tokoh rasionalis dan liberalis dalam melancarkan pemikiran dan gagasan-gagasan pembaharuan di Dunia Islam ini mengakhiri segala bentuk aktivitasnya, ketika ia memenuhi takdirnya kembali ke Asalnya, Tuhan. Syed Ameer Ali kembali kepangkuan Khaliknya dalam usia 79 (tujuh puluh sembilan) tahun, yaitu pada 3 Agustus 1928 di Sussex, Inggris. Innalillahi wa inna ilahi raji’un. Irji’i ila Rabbiki radhiyatan-mardhiyah. Selamat jalan pendekar liberal-rasional Islam.
C. Islam Liberal-Rasional: Mencarai Landasan Jejak Kejayaan Islam klasik
Sebagaimana semua bangsa-bangsa kuno, bangsa Arab sebelum kedatangan Islam adalah orang-orang yang fatalisitik, menyerahkan kehidupannya kepada nasib (takdir). Kehadiran Islam telah mencetuskan revolusi sikap dan pemikiran terhadap bangsa Arab. Ajaran Islam mengakui keunggulan manusia dengan memberikan kekebasan untuk mengatur dan menguasai alam (khalifah fi al-ardl). Syed Ameer Ali meyakini bahwa jaran Islam yang dibawah oleh Nabi Muhammad memberikan kebebesan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatannnya. Meskipun begitu, dibalik kebebesan yang dimiliki oleh manusia, buru-buru ia menambahkan, harus diiringi dengan pertanggungjawaban. Dalam pandangan Watt, ketika memberikan apresiasi pada buku The Spirit of Islam sekaligus kepada pengarangnya, “pada hakekatnya merupakan suatu paparan tentang Islam dan pendirian pengarangnya (‎Ameer Ali) yang mengejawatahkan semua nilai-nilai liberal yang dipuja pada masa ratu Victoria.” Lebih lanjut Watt memaparkan:
Amer Ali memandang Muhammad sebagai “Guru Agung,” seorang yang percaya kepada kemajuan, menjunjung tinggi penggunaan akal dan bahkan “pelopor Agung Rasionalisme,” ringkasnya ia seorang manusia yang benar-benar modern. Bagi Ameer Ali, Islam yang di bawah Muhammad dipandang sebagai agama paling ideal yang menanamkan suatu kepercayaan yang benar kepada Tuhan; dan menekankan kesucian moral serta etika yang agung. Muhammad mengangkat martabat dan derajat kaum wanita; ia memperbaiki nasib para budak dan mencela perbudakan; ia menganjurkan ilmu pengatuhan serta menegaskan tanggung jawab karsa bebes manusia.
Namun, dalam memberikan kebebesan kepada manusia, sepertinya, menurut sinyaleman Ameer Ali, al-Qur’an sepintas terkesan ambigiutas: disatu sisi ada beberapa ayat menyebutkan bahwa Allah mempunyai kehendak dan kekuasaan mutlak terhadap nasib manusia, misalnya ia mengutip ayat al-qur’an, seperti Tuhan “mengampuni siapa yang dikehendaki, dan menyiksa siapa yang dikehendaki;” “memberikan kekuasaan kepada yang dikehendaki” dan sebaliknya beberapa ayat menyebutkan bahwa Allah “mencabut kekuasaan dari orang yang dikehendaki. Begitu pula “dimuliakan siapa yang dikehendaki, dan menghinakan siapa yang dikehendaki ;” “melaksanakan kehendak-Nya …dan menetapkan bagi segala sesuatu dengan pasti;” “langit dan bumi adalah kepunyaan Allah dan apa yang ada di dalamnya, dan maha kuasa atas segala sesuatu;” dan beberapa lagi ayat al-Qur’an sejenis dikutipnya.
Akan tetapi, di sisi lain beberapa ayat mengungkapkan bahwa manusia mempunyai kebebesan untuk berkehendak dan berbuat, misalnya dia mengutip ayat, seperti Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum hingga meraka merubahnya sendiri; barang siapa yang sesat, ia sendiri yang memiliki seluruh tanggiungjawab kesesatannya; Sungguh Allah tidak menyuruh kamu berbuat keji; sekali-kali Allah tidak menganiya mereka, tetapi mereka yang sendiri menganiya dirinya; dan beberapa lagi ayat-ayat serupa lainnya.
Dengan kenyataan ayat-ayat kontradiktif tersebut, bagaimana kedua gagasan yang ada dalam al-Qur’an itu bisa dipersatukan? Menurut kesimpulan Ameer Ali, sesungguhnya “spirit” dari al-Qu’an terletak pada kebebesan kehendak manusia. Karena kalau Allah mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak terhadap kehendak dan perbuatan manusia; bagaimana dengan gagasan bahwa manusia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya? Jelas kiranya yang dimaksud dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an dengan “ketentuan dan takdir Tuhan”, menurutnya, dimakanai sebagai hukum alam (law of nature), sunnatullah.
Meskipun demikian, menurut pengakuannya lebih lanjut, tidak dapat disangkal, memang ada beberapa ayat menunjuk kepada gagasan kekusaan dan kehendak Allah terhadap kehendak dan perbuatan manusia, tetapi ia segera menambahkan, bahwa ayat-ayat itu dijelaskan pula oleh ayat-ayat yang lain, di mana kekuasaan Allah tersebut “digantung kepada syarat” kehendak manusia. Ameer Ali misalnya menyebutkan bahwa Allah akan menolong orang-orang yang memohon pertolongan kepada-Nya; Allah hanya akan merahmati orang-orang yang mencari dalam hatinya sendiri, yang mensucikan jiwanya dari keinginan-keinginan yang tidak murni dan semu.
Jadi, Syed Ameer Ali menyimpulkan, bahwa ajaran Islam tidak dijiwai oleh kada’ dan kadar atau paham jabariyah (predistination), yaitu manusia bersifat pasif dan pasrah merima ketentuan dan ketatapan Allah; tetapi lebih pada upaya dan ikhtiar manusia atau paham qdariyah (pree will dan pree act), yaitu manusia aktif dan bebas menentukan berkehendak dan berbuatnya sendiri. Lagi-lagi, menurut Ameer Ali, sebagaimana yang juga dikutip oleh Harun Nasution, faham qadariyah inilah selanjutnya yang menimbulkan liberalisme dan rasionalisme dalam Islam. Paham ini pada gilirannya mengantarkan ummat Islam klasik pada kegemilangan peradaban dan kejayaan ilmu pengetuhan.
Al-Qur’an sendiri pada dasarnya memberikan apresiasi dan penghagaan terhadap penggunaan akal yang dimiliki oleh manusia. Sehingga rasionalitas menjadi ukuran dan pembeda hakiki antara manusia dengan makhluk hidup yang lain. Akallah yang memberikan kemampuan kepada Adam (manusia), misalnya, untuk mengenal dunia sekelilingnya. Atas dasar kemampuan akal itulah manusia dipilih oleh Tuhan sebagai khalifahnya di bumi; dan bukan malaikat meskipun senatiasa bertasbih memuji Allah dan mengkuduskannya. Dengan begitu, al-Qur’an mengakui keunggulan manusia dan memberikan kebebesan untuk menguasai dan mengatur alam. Tetapi meskipun begitu, dibalik kebebesan manusia itu harus diiringi tanggungjawab, baik sosiologis maupun teologis.
Dalam pada itu, Nabi Muhammmad sendiri dalam memaknai firman Allah tersebut juga memberikan kebebasan kehendak dan keharusan penggunaan akal, sebagaimana yang termaktub dalam sabda-sabdanya. Sabda-sabda Nabi itu sangat berbekas di kalangan para sahabat, sehingga kebebasan dan rasionalitas mula-mula tumbuh di Madina. Gagasan kebebasan dan rasionalitas ini mendapat bentuk yang lebih kukuh lewat kata-kata Ali bin Abi Thalib. Kemudian, dari sini gagasan ini menyebar ke Basrah dan Kufah, dan pada akhirnya sampai di Baghdad lewat sarjana-sarjana Islam liberal dan rasional, seperti Ja’far al-Shadik, dan Hasan Basri, seorang sufi yang rasional serta Washil bin Atha’, pendiri aliran rasionalisme secara formal, Mu’tazilah.
Melalui aliran Mu’tazilah rasionalisme dalam Islam menyebar keseluruh masyarakat terpelajar yang ada dalam pemerintahan dinasti Abbasyiah, sehingga lahir beberapa orang filosuf Islam, seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Razi, Ibn Sina dan lainnya. Bahkan resonansi rasionalisme bergaung di beberapa perguruan tinggi yang ada di Andalusia dengan ditandai laihirnya beberapa orang filosuf, seperti Ibn Bajjah, Ibnu Masarrah dan Ibn Tufail serta berpuncak pada diri Ibn Rusyd. Pada masa itu berkembang ilmu dengan dahsyatnya ditandai lahirnya ahli dalam berbagai disiplin ilmu, misalnya kedokteran, fisika, matematika, astrologi, sejarah dan ilmu lainnya.
Berkenaan dengan ini, banyak indikasi yang menunjukkan, bahwa Islam pada masa klasik telah terlibat dalam perdebatan yang cukup luas dan ramai, dalam suasana kehidupan intelektual yang lebih bebas dan terbuka daripada masa-masa sesudahnya. Sehubungan dengan ini Nurcholish Madjid, mengatakan:
Agaknya pada dua abad pertama Islam banyak beredar hadits-hadits yang menjunjung tinggi akal. Tetapi karena hadits-hadits itu lebih mendukung “kaum liberal”, maka dalam perkembangan lebih lanjut dikenakan prasangka sebagai lemah dan tidak sah, sehingga juga tidak banyak dimuat dalam kitab-kitab hadits hasil pembukuan masa-masa sesudahnya. Sebagai contoh, adalah seorang pemikir Islam, al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, yang wafat pada 243 H (tujuh puluh tahun sebelum wafat al-Bukhari). Dia adalah salah seorang tokoh “rasionalis” yang sangat dini dalam Islam, yang meninggalkan karya-karya tulis sistematis. Dia juga seorang agamawan yang saleh dengan kecenderungan kesufian yang kuat”.
Beranjak dari hadis-hadis yang mengagungkan dan kebebesan penggunaan akal, Syed Amier Ali menyimpulkan, bahwa Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad tidak sedikitpun mengandung suatu yang dapat merintangi kemajuan dan menghambat perkembangan intelektualitas manusia. Lalu apa sebabnya, sejak abad kedua belas Masehi, pemikiran rasional dan liberal (filsafat) hampir lenyap dan akhirnya faham jabariyah dan anti rasionalisme berkembang di dunia Islam?
Sebagaimana telah disinggung, bahwa hadits-hadits tentang akal itu banyak ditolak oleh sebagian ulama atau sekurang-kurangnya diragukan keabsahannya. Paling tidak penyebab awal dan utamanya adalah gara-gara kaum Mu’tazilah sendiri, yang di awal sejarah perkembangan pemikiran Islam disebut-sebut sebagai pelopor penggunaan akal, tetapi dalam perkembangannya lebih lanjut, ternyata Mu’tazilah tidak luput dari lembaran hitam sejarah yang memalukan dunia pemikiran bebas. Menurut Nurcholish Madjid, ketika kaum Mu’tazilah mendapat angin oleh rezim Abbasiyah di Baghdad, karena ajaran mereka diangkat menjadi aturan resmi negara, yaitu di masa kekhalifahan al-Makmun, mereka justri melancarkan apa yang dikenal dengan mihna.
Ketika Mutawakkil naik menjadi khalifah situasi politik berbalik secara total. Dalam masyarakat ada aliran sifatiah dianut mayoritas masyarakat di lapisan bawah dan dipimpin oleh ulama dari kalangan ahli hadis, hukum, dan para qadi yang selama ini tidak mendapat tempat dan bahkan termasuk mendapat siksa akibat proses mihnah, misalnya termasuk Imam Ahmad bin Hambal. Maka pada masa khalifah Mutawakkil ulama-ulama ahl rijal mendapat tempat strategis, dan akibatnya kaum rasionalis dan liberal tersingkir dari pusat kekuasaan dan bahkan diusir dari Baghdad. Tidak hanya itu, menurut Sayed Amier Ali, pengajaran filsafat dan ilmu pengetahuan rasional di larang dan beberapa perguruan tinggi ditutup. Bahkan buku-buku filsafat yang telah dihasilkan dibakar dan pengarangnya dibunuh. Dalam pada itu, Abu Hasan al-Asy’ari tampil dengan memproklamirkan aliran teologi baru, yaitu Asy’ariyah. Teologi ini pada dasarnya menafikan kebebesan manusia dan mengurangi peran dan fungsi akal. Pada akhirnya aliran teologi inilah yang berkuasa dan menjadi anutan resmi mayoritas ummat Islam. Dengan tersingkirnya paham kebebasan dan rasionaliatas dalam Islam, maka umat Islam menjad “sakit” dalam kemunduran.
Dalam perkembangan sejarah lebih lanjut, persengketaan antara kaum ortodoks dan kaum rasionalis, akhirnya secara formal dimenangkan oleh kaum ortodoks. Sekurang-kurangnya, secara lahir mereka mendominasi pemikiran keagamaan hingga dewasa ini. Akan tetapi, patut disayangkan, menurut Nurcholish Madrid, dalam banyak hal kaum ortodek memiliki sikap-sikap tidak adil kepada kitab suci. Jika kaum ortodoks berhasil membendung rasionalitas dengan menaruh curiga yang berlebihan kepada hadits-hadits tentang akal, tetapi mereka (kaum ortodoks) tidak berbuat apa-apa terhadap ayat-ayat suci yang dengan tegas sekali memberikan apresiasi terhadap akal, dan sekaligus mendorong manusia agar menggunakan akalnya.
D. Islam Liberal dan Rasional: Kasus Poligami
Pada semua bangsa-bangsa di masa kuna, poligami dipandang sebagai suatu kebiasaan yang dapat dibenarkan. Lebih dari itu, poligami --karena dilakukan oleh raja-raja [keturunan dewa-dewa yang berkuasa di bumi] melambangkan ketuhanan-- dipandang oleh orang banyak sebagai perbuatan suci. Seiring dengan ini, perempuan pada masa pra-Islam tidak mempunyai harkat dan martabat kemanusiaan. Perempuan tidak lebih hanya sebagai barang komoditas yang diperjual-belikan. Praktek poligami yang tak terbatas itu, misalnya terjadi pada bangsa-bangsa, seperti Babelonia, Mesir, Persia, India, dan Yunani. Praktek poligami semacam ini tetap berlanjut hingga kehadiran agama Kristen yang membenci perkawinan secara umum.
Ketika Nabi Muhamaad saw. datang poligami didapatinya dipraktekkan oleh semua orang, tidak saja oleh kaumnya, tetapi juga oleh orang-orang dari negeri-negeri tetangga. Pada masa tersebut praktek poligami mendapat bentuknya pada titik nadir yang paling rendah, meskipun agama Kristen telah berusaha untuk memperbaiki keadaan ini, tetapi tetap tidak berhasil. Dalam kondisi seperti itu, Nabi saw. melakukan pembaharuan dengan memberikan kepada perempuan hak-hak yang sebelumnya tidak pernah dimilikinya. Perempuan diberikan kedudukan dan derajat sema dengan pria dalam segela aspek kehidupan. Misalnya, al-Qur’an menyebutkan: “Mereka mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya secara patut, akan tetapi kaum pria mempunyai satu tingkat lebih tinggi dari kaum perempuan.” Meskipun ayat ini menggariskan bahwa “pria mempunyai satu tingkat lebih tinggi dari perempuan”, tetapi Islam pada bagian lainnya, mengajarkan agar pria dan perempuan tetap setara, maka Allah menetapkan kewajiban bagi pria untuk memberikan mahar kepada perempuan.
Lebih jauh, agama yang dibawa oleh Nabi saw., menurut Ameer Ali, juga untuk mengendalikan poligami dengan membatasi perkawinan dalam masa yang sama, dan diiringan dengan peringatan dan peraturuan agar kaum pria berlaku seadil-adilnya:
Perlu dicatat bahwa ayat al-Qur’an yang membolehkan kawin empat sekaligus, segera diiringi oleh kalimat yang membatasi arti kelimat sebelumnya, sehingga kandungannya menjadi normal dan patut. Ayat itu bunyinya demikian: “Kamu boleh mengawini perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga, atau empat”; tidak boleh lebih dari itu. Baris-baris ayat ini seterusnya berbunyi, “ tetapi jika kamu kuatir tidak dapat berlaku adil dan benar terhadap semuanya, maka kamu harus mengawini seorang saja.” Betapa pentingnya pengecualian ini, terutama arti kata “adil” (adl) dalam ayat al-Qur’an ini, sehingga benar-benar menjadi perhatian yang besar bagi pemikir-pemikir dalam dunia Islam. Adil bukan semata-semata berarti persamaan perlakuan dalam hal tempat kediaman, sandang dan keperluan rumah tangga lainnnya, tetapi juga berarti tidak membeda-bedakan sama sekali dalam hal cinta, kasih-sayang dan kehormatan. Mengingat keadilan secara mutlak tidak dapat diwujudkan dalam soal perasaan, ajaran ayat al-Qur’an ini sebenarnya sama dengan larangan.
Pada bagian akhir kutipan diatas, nyata sekali, menurut Ameer Ali, sebagimana ditegaskan oleh al-Qur’an bahwa “kamu tidak akan mampu berlaku adil kepada istri-istrimu;” Karenanya, kawinilah satu orang saja, sekiranya kamu tidak mau berlaku tidak adil. Artinya, kalau kita beristri lebih dari satu, berat dugaan kalau suami akan belaku aniaya terhadap istri-istri yang dimiliki. Kemudian ia menyimpulkan bahwa ayat ini sama saja artinya dengan pelarangan atas poligami.
Ayat al-Qur’an [surat al-Nisa: ayat 3], sebagaimana yang dikutip oleh Amer Ali di atas, acap kali dijadikan landasan normatif untuk melakukan poligami. Padahal dalam memahami ayat ini dengan baik dan benar, mestilah dihubungkan dengan dua ayat sebelumnya; begitu pula azbab al-nuzul (sebab-sebab diturunkan) ayat ini juga tidak boleh diabaikan. Karena kalau kedua cara memahami ayat itu diabaikan, niscaya pemahaman terhadapa ayat tersebut menjadi tidak integratif dan a historis (melenceng dari konteks waktu ayat diturunkan). Konsekwensinya pememahaman yang demikian itu akan menjadi salah dan menyimpang dari makna ayat yang sesungguhnya.
Kalau dilihat “sekilas mata” terdapat kontradiksi antara idealita “sprit” Islam tentang perkawinan monogami dengan realitas “lahiri” perkawinan Nabi yang poligami. Pandangan “sekilas mata” inilah dipergunakan oleh non-Islam (orientalis), untuk melontarkan celaan kepada Nabi saw. Pandangan semacan ini, menurut Ameer Ali, karena para pencela tersebut tidak mengatahui persoalan sebenarnya atau kurang jujur untuk mengakui dan menghargainya. Padahal kalau “ditatap lama” masalahnya menjadi lain. Ameer Ali mengatakan:
Kalau saja orang mengetahui sejarah lebih baik dan lebih tepat dalam memberikan penilaian terhadap kenyataan-kenyataan itu, maka orang tentu akan melihat bahwa Rasulullah bukanlah seorang jalang yang memperturutkan hawa nafsunya, tetapi seorang yang memberikan pengorbanan yang tidak ringat, walau ia dalam kemiskinan…menerima beban untuk menoloang wanita-wanita yang dinikahinya, Kami percaya bahwa analisa yang teliti memandang motif-motif perkawinan tersebut dari perspektif kemanusian akan mempelihatkan kepalsuan dan ketidakadilan tuduhan-tuduhan dilontar kepada “manusia Arab yang mulia” itu.
Agaknya Ameer Ali “disibukkan” melakukan pembelaan dari berbagai tuduhan atas praktek poligami yang dilakukan oleh Nabi saw. dengan jalan mempreteli motif-motif dan latar belakang dari kesuluruhan perkawinan Nabi saw dengan sebelas orang istri-istrinya. Untuk membuktikan bahwa Nabi saw bukan seorang yang “jalang dan haus seks”, misalnya Ameer Ali mengungkapakan perkawinan pertama Nabi (diusia 25 tahun) yang pertama dengan Khadijah (diusia 40 tauhan). Perkawinan pertama Nabi ini berlangsung selama 25 (dua puluh lima) tahun; dan berakhir dengan wafatnya Khadijah. Selama kawin dengan khadijah, ia tidak ada mengawini wanita lain (monogami), meskipun masyarakat umum sangat membenarkan sekiranya Nabi mau melakukannya.
Perkawinan Nabi saw. dengan sejumlah istrinya, selain yang pertama dengan Khadijah, bukanlah perkawinan yang “wajar atau normal.” Disebut tidak wajar dan normal kerena Nabi saw. melakakukan perkawinan tidak dilatarbelangi oleh cinta erotis (hubb al-syahawat), tetapi lebih pada kasih sayang (mawaddah). Perkawinan Nabi semacan ini tidak menekankan pada hubungan kepuasaan jasmani (biologis), tetapi melompat kepada hubungan kepuasaan nafsani (psikologis). Berbeda dengan perkawinan wajar yang menekankan pada hubungan kepuasan biologis bermaksud untuk saling memberikan “kenyamanan” (rekreatif) dan keturunan (reproduktif).
Karenannya, perkawinan Nabi selain yang pertama, kalau ditelusuri lebih seksama satu persatu mempunyai motif dan latarbelakang kemanusian universal dan demi kepentingan dakwah (syiar) bagi agama baru yang dibawanya. Motif dan latar belakang perkawinan Nabi saw. seperti ini, mislanya sangat jelas pada perkawainan keduanya dengan Saudah; perkawinan ketiganya dengan Aisyah; dan perkawinan keempatnya dengan Hafsah. Begitupula dengan istri-istri Nabi berikutnya, seperti Hindun Ummi Salmah, Ummi Habbah dan Zainab Umm al-Masakin. Tiga istri Nabi ini adalah wanita-wanita janda ditinggal pelindungnya dalam menegakkan syiar agama Islam.
Sedangkan perkawinan Nabi berikutnya jelas untuk memberikan pertolongan kemanusiaan, mislanya perkawinan dengan Zainab [janda dicerai Zaid, anak angkat nabi]; Jawairiyah [tawanan yang dimerdekakan Nabi, dan meminta Nabi agar mengawininya; Safiah [wanita Jahudi menjadi tawanan dan dimerdekakan Nabi dan dijadikan istri atas permintaannya sendiri; dan yang terakhir dengan Maimunah [wanita tua yang miskin berusia lebih lima puluh tahun yang dikawini Nabi untuk memberikan nafkah] . Karena dari istri-istri Nabi, selain Aisyah, merupakan wanita-wanita yang rata-rata sudah berusia, janda dan mempunyai anak. Dan dari istri-istrinya selain Khadijah, tidak lagi dikarunia anak. Jadi dari data-data ini jelaslah bahwa alasan Nabi berpoligami sangat jauh dari hasrat memenuhi kepuasaan biologis, seperti dituduhkan kepadanya.
Biarpun Nabi Muhammad sendiri nyata-nyata melakukan poligami, tetapi Nabi saw. melarang untuk melakukan praktek poligami. Karena dalam perkawainan yang “wajar” poligami pada hakekatnya mengandung unsur yang dapat menyakiti hati wanita. Misalnya, Nabi saw. sendiri menolak tawaran untuk mengawini wanita cantik lantaran khawatir akan menyakiti hati wanita tersebut. Begitu juga, Rasulullah tidak mengizinkan menantunya, Ali bin Abu Thalib untuk memadu putri tercintanya, Fatimah al-Zahrah dengan wanita lain. Dalam riwayat dinukilkan dari al-Mizwar ibn Makhraman, menyatakan bahwa ia telah mendengar Rasulullah berpidato di mimbar:
Sesunggunya anak-anak Hisyam ibn Mugirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putrinya dengan Ali. Ketahuhilah, “bahwa aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali jika Ali bersedia menceraikan putriku, dan menikahi anak mereka. Sesunggguhnya Fatimah adalah bagian dari diriku. Barangsiapa yang membahagiakannya berarti ia membahagiakanku; sebaliknya barangsiapa yang menyakitinya berarti ia menyakitiku.
Pada kondisi-kondisi tertentu dalam perkembangan sosial, terkadang poligami merupakan suatu yang tak terhindarkan, dan dengan sendirinya dapat dibenarkan. Dalam peperangan mislanya, pada masa lampau, dapat mengurangi populasi pria dan kelebihan populasi wanita, sehingga poligami merupakan tuntutan masyarakat tersebut. Begitu pula, pada masyarakat yang belum maju dan tidak mempergunakan rasionalitasnya secara memadai serta dalam kondisi tertentu akan memandang poligami suatu yang terpuji. Karena ajaran yang dibawa oleh Nabi saw. berlaku untuk semua golongan dan berlaku untuk setiap masa, seperti diakui Ameer Ali, maka poligami bukanlah kejahatan yang harus disesalkan.
Namun, dewasa ini, menurut Ameer Ali, semakin manusia mempergunakan rasionalitasnya (akal sehat) dan semakian maju peradaban seseorang (bangsa), akan lebih mudah dimengerti akibat negatif poligami, dan arti pelarangannya semakin mudah dipahami. Pada gilirannya, bagi kelompok ini dengan mudah sepakat bahwa poligami bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Ameer Ali, misalnya menyebutkan bahwa dalam pandangan Mu’tazilah yang rasionalis sangat menentang sistem perkawinan poligami, dan mereka adalah termasuk kalangan penganut monogami yang taat. Oleh karena itu, menurut Mu’tazilah perkawinan dimaknai sebagai “persatuan untuk seumur hidup antara pria dan perempuan dengan menjauhkan yang lainnya.” Berdasrkan pada pandangan Mu’tazilah ini, dewasa ini mungkin mahar lebih baik diganti dengan komitmen, seperti: “kita hidup bersatu dalam kesetiaan, dan kita hanya boleh dipisahkan oleh kematian”(?)
Karena terobsesi oleh sistem monogami, Ameer Ali berharap, “sangatlah kita harapkan bahwa tidak lama lagi ada sidang umum dewan ulama Islam yang mengeluarkan fatwa atau/ pernyataan mengikat bahwa poligami, seperti juga perbudakan, dinyatakan bertentangan dengan hukum Islam.” Akan tetapi, harapannya ini akan tinggal sebagai harapan yang utopis dan malah mungkin absurd. Karena ada satu hal, mungkin dilupakan Ameer Ali, bahwa ulama tidak mungkin dapat bersatu pendapat, apa lagi dalam kasus pelarangan poligami.
E. Islam Liberal dan Rasional: Kasus Budak
Term budak, dalam perbincangan keseharian, kerapkali disandingkan dengan term hamba. Padahal, antara kedua term tersebut mempunyai diferensiasi makna yang cukup siknifikan. Kalaupun harus dipersamakan maka buru-buru harus ditambahkan dengan kata “sahaya” sehingga menjadi “hamba sahaya”. Mengingat term yang disebut pertama lebih berkonatasi kepada hubungan dan pengabdian manusia kepada Tuhan; sementara yang disebut belakang lebih diidentikan dengan hubungan dan pengabdian seseorang tertentu terhadap tuannya. Lagi pula, term “budak” –sebagai term hubungan manusia dengan manusia (habl min al-Nas) [sesuai dengan defenisi di atas] mengandung makna bahwa ketika seseorang telah menjadi budak, maka dengan sendirinya hak dan kebebasannya menjadi sirna. Sedangkan term “hamba” --sebagai term hubungan manusia dengan Tuhan (habl min Allah)-- hak dan kebebasan manusia di hadapan Tuhan sedikitpun tidak terenggut. Karena dengan hanya bertuhankan pada Allah justru berarti manusia terbebas dari berbagai bentuk perbudakan. Karenanya, Islam diawali pembebasan terhadap tuhan-tuhan, dan dilanjutnya peneguhan Tuhan Esa.
Untuk mengungkapkan kedua term “hamba” dan “budak”, al-Qur’an mempergunakan kata yang berbeda. Untuk term yang disebut duluan, term hamba, al-Qur’an mempergunakan kata “’abd”. [Untuk term ini, hanya sekali dijumpai dalam al-Qur’an yang beronotasi kepada hubungan antara manusia (lihat, al-Qur’an, al-Baqarah (2): 221). Namun term ini (‘abd) akan acapkali diketemukan dalam al-Qur’an khusus pada hubungan manusia dengan Allah. [Lebih lanjut term ‘Abd tidak menjadi penting karena tidak relevan dengan pembahasan dalam tulisan ini]. Artinya penghambaan yang dibolehkan al-Qur’an hanya kepada Allah; sementara penghambaan terhadap manusia, manurut al-Qur’an dan Nabi adalah terlarang. Karena itu, menurut panelitian Quraish Shihab, tidak ditemukan dalam al-Qur’an kata raqabah yang dinisbatkan kepada orang-orang Mukmin. Dengan kata lain, tidak ditemukan dalam al-Qur’an kata rikabatukum atau riqabukum. Hal ini untuk memberikan pelajaran bahwa kalau pun seseorang satu dan lain hal memiliki budak, maka orang tersebut tidak boleh memperlakukannya sebagai budak yang terbelenggu lehernya.
Sementara untuk term yang disebut belakangan, term budak terkadang al-Qur’an mempergunakan kata “raqabah” dan di lain tempat al-Qur’an mempergunakan kata “malakat aimânukum”. Kata raqabah terulang di dalam al-Qur’an, menurut Quraish Shihab, sebanyak enam kali dalam bentuk tunggal; dan dalam bentuk jamaknya, riqab, sebanyak tiga kali. Kata ini pada mulanya berarti “leher”, kemudian diartikan sebagai manusia yang terbelenggu (terikat lehernya) dengan tali, demikianlah memang nasib dan keadaan budak-budak pada zaman dahulu. Sementara kata malakat aîmanukum di dalam al-Qur’an tercantum juga sebanyak enam kali; dan empat di antarnya berkonotasi khusus kepada budak-budak wanita dalam melakukan “hubungan” dengan tuannya baik tidak lewat pernikahan ataupun lewat pernikahan. Mengingat kesan yang diperoleh dari istilah raqabah diatas sangat buruk; menggambarkan seseorang terbelenggu lehernya, seperti binatang, al-Qur’an memilih untuk tidak menamai mereka dengan ‘abd (hamba sahaya), tetapi menamai mereka sebutan malakat aimanukum (apa yang dimiliki oleh tangan kananmu).
Dalam al-Qur’an, sembari memberikan perumpaan, Allah mendefenisikan sendiri bahwa budak adalah seseorang “hamba sahaya yang dimiliki dan tidak dapat bertindak sesuatu apapun”. Dari batasan ayat ini didapatkan pemahaman bahwa budak adalah seseorang yang dikuasai dan tidak dapat berbuat sesuatu apapun atas namanya sendiri; atau tidak dapat berbuat apapun tanpa sepengetahuan dan seizin tuannya (al-Qur’an, Al-Nahl [16]: 75). Bahkan lebih dari itu, budak berkewajiban mengikuti jejak tuannya dalam berbagai kehidupan, termasuk mengekor dalam hal kehidupan dunia dan kepercayaan-keagamaan. Seorang budak tidak punya hak kesempatan untuk berbeda pandangan, apalagi membantah pendapat tuannya. Seorang budak tidak mempunyai hak untuk menolak perintah tuannya; dan berkewajiban untuk menaati apapun permintaan dan hasrat tuanya, termasuk ajakan untuk melacur diri demi keuntungan dan kepuasan sang tuan. Nasib seorang budak sangat tergantung dari tuannya; kebebasan dan kemerdekaanya berada dalam genggaman tuannya; si tuan berhak menjatuhkan hukuman apapun; si tuan tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan imbalan kebaikan kepada budak yang dimilikinya. Pendek kata, budak tidak mempunyai hak-hak apapun, tetapi mempunyai kewajiban-kewajiban sedemikian banyak dan besar.
Budak dalam beberapa hal dapat dibandingkan dengan poligami. Seperti halnya poligami, perbudakan juga ada pada semua bangsa. Kedua hal ini, khusunya yang disebut belakangan, lambat laun akan menjadi terhapus seiring dengan bertambah majunya pemikiran dan peradaban serta dengan semakin tumbuhnya rasa kemanusiaan dan keadilan ummat manusia terhadap sesamanya. Sehingga dapat dipahami, kalau tempo dulu perbudakan tetap saja eksis sepanjang sejarah anak manusia, terutama pada masyarakat primitif hingga sampai lahirnya agama Kristen, satu mellenium yang lampau. Bahkan agama yang dibawa oleh Nabi Isa (Alaihi al-Salam) itu, dengan ajaran “kasihnya”, dapat dikatakan gagal mengelaminir, apalagi menghapuskan praktek-preketek perbudakan di muka bumi. Memang perbudakan pada masa-masa itu masih merupakan suatu “keniscayaan” hidup yang tak terbantahkan.
Periode Mekkah. Ketika Islam datang lewat Nabi Muhammad (Shallallahu A’laihi Wasallam), perbudakan tetap merupakan menjadi fenomena dan realitas hidup keseharian. Dan sepertinya, al-Qur’an sendiri “lamban” dan “tidak tegas” menagani masalah ini; bahkan seolah-olah Islam masih “melegitimasi” adanya perbudakan . Padahal sesunguhnya “ruh” (semangat dan spirit) Islam menentang dan melarang praktek-praktek perbudakan, sebagaimana yang diajarkan al-Qur’an dan dilakukan Rasulullah. Sementara itu, tujuan al-Qur’an dan misi kenabian adalah untuk menciptakan masyarakat madani (civil sociaty) dengan tata kehidupan etika-moral yang adil, egalitarian, dan inklusif serta berlandaskan iman. Kalaupun perbudakan tetap eksis di tengah-tengah masyarakat pada awal kenabian, realitas tersebut hanya dapat “diterima” secara tentatif dan untuk sementara waktu.
Pada masa awal sejarah Islam, Nabi Muhammad hanya mentolerir perbudakan lantaran menjadi tawanan perang. Inilah satu-satunya perbudakan yang dapat dibenarkan oleh hukum, sampai mereka ditebus atau tawanan itu sendiri yang menebus kemerdekaannya lewat upah pekerajaan atau lewat dengan cara lain. Tetapi apabila tawanan/budak tersebut tidak mempunyai sumber penghasilan, Nabi mengguggah hati nurani dan kesalehan ummat Islam --ditambah pula dengan tanggungjawab berat diletakkan di atas pundak orang memiliki budak-- dan ini menjadi sebab akhirnya budak tersebut dibebaskan. Karenanya sedari awal, periode Mekkah, Al-Qur’an sudah mencangankan fakku raqabah, membebaskan manusia dari perbudakan.
Di Mekah, karena kukuhnya sistem perbudakan dalam struktur masyarakat Arab --di antara membebaskan budak bukan perkara mudah, tapi harus lewat jalan yang mendaki lagi sulit-- serta penghapusannya akan menimbulkan gejolak yang besar, maka fenomena ini di tangani oleh al-Qur’an secara persuasif dan bertahap. Lagi pula, ketika di Mekkah, Nabi Muhammad dan pengikutnya masih merupakan golongan minoritas tertekan. Sementara itu kalau dipaksakan penghapusan budak tersebut dapat berakibat fatal bagi nasib kelangsungan agama yang baru dibina.
Dalam pada itu, karena sistem perbudakan merupakan tatanan kehidupan yang sudah sangat mapan, sehingga al-Qur’an tidak mungkin dengan serta-merta melarangnya dan harus lebih bijak dalam merespon persoalan yang ada pada masa itu. Sikap al-Qur’an yang permisif dan masih metolerir perbudakan terlihat, misanya masih dibolehkan praktek-praktek si tuan laki-laki agar “menjaga kemaluannya, kecuali kepada istri dan budak-budak (wanita) yang mereka miliki”, menurut al-Qur’an, ”dalam hal ini mereka tidak tercela”. Meksipun dibolehkan praktek-prektek seperti ini dikaitkan dengan himbauan moral, menurut al-Qur’an, demi menjaga kemaluan dan memelihara kehoramtan seorang laki-laki. Karenanya, al-Qur’an sendiri segera menambahkan, “barang siapa yang mencari di balik itu,” [misalnya seperti berzina, dan praktek-praktek seksual lain yang terlarang], menurut al-Qur’an, “maka mereka itulah orang-orang melampaui batas.”
Meskipun demikian, dalam kondisi struktur ekonomi masyarakat Mekkah yang timpang; adanya jurang yang terjal antara yang miskin dan kaya; serta antara yang kuat dan yang lemah, al-Qur’an acap kali mengkritik kaum bangsawan yang konglemerat karena mereka tidak mau memberikan sebagian rezeki meraka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar budak-buak mereka juga turut merasakan rezeki tersebut. Al-Qur’an menyebutkan bahwa sikap orang-orang kuat dan kaya tersebut sebagai bentuk pengingkaran terhadap nikmat Allah.
Dalam ayat periode Mekkah ini, al-Qur’an tidak melarang dan mengutuk perbudakan itu sendiri secara langsung, tatapi yang dikutuknya adalah sikap orang-orang kaya dan kuat Mekkah yang tidak mempunyai kepedulian dan tidak mau menyantuni budak-budak yang mereka miliki yang, tentu saja, telah berbuat banyak kepada tuannya. Sementara tindakan perbudakan itu sendiri harus secara bertahap dan tidak dapat dipaksakan penerapannya seketika. Karena pembebasan manusia dari perbudakan harus bersumber dari kesadaran dan sikap batin dari manusia terhadap sesamanya. Cara inilah ditempuh al-Qur’an hingga Rasulullah dan para sahabat berhasil sewaktu berada di kota Madinah.
Periode Madinah. Ketika Rasulullah masih berada di Mekkah penanganan masalah pembebasan perbudakan diupayakan secara radikal karena harus diselaraskan dengan situasi faktual dan kondisi objektif ummat Islam saat itu. Maka setelah hijrah dan menetap di Madinah, ayat-ayat al-Qur’an turun dengan lebih gencar dan sistimatis serta lebih radikal sebagai upaya untuk menghapus sistem perbudakan yang tidak sempat dituntaskan sewaktu masih di Mekkah. Karenanya, dalam surat al-Baqarah, termasuk sebagi surat yang pertama kali diturunkan di Madinah, Allah mengajarkan betapa mulia dan agung kebajikan yang dimiliki bagi orang yang memerdekakan budak, sampai-sampai Allah menyamakan kebajikannnya beriman kepada-Nya, beriman hari akhirat, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan al-birr al-wâlidaîn. Begitu pula, dalam pembebasan perbudakan, pemberian harta untuk membebaskan budak yang semula dikategorikan sebagai sedekah belakangan disamakan dengan pembayaran zakat. Karena itu, al-Qur’an menyebutkan bahwa zakat yang terkumpul juga dimaksudkan untuk memerdekakan budak.
Seiring dengan ayat tersebut di atas, dalam upaya-upaya yang lebih intens, menurut Ameer Ali, Nabi saw. memerintahakan pengikutnya tanpa jemu-jemu atas nama Allah, karena membebaskan budak adalah perbuatan yang paling diredhai oleh ‎Allah. Lebih jauh Ameer Ali memamarkan sikap Nabi saw terhadap perbudakan:
Ia menetapkan bahwa budak dizinkan untuk menebus kebebasan dirinya dengan jalan upah pekerjaannya. Kalau budak yang malang itu tidak mempunyai pengahasilan dan bermaksud mencari pengahasilan demi menebus kebebasannya, maka mereka harus diperkenankan oleh tuannya dengan suatu perjanjian. Ia juga menentukan bahwa budak harus diberikan dana dari perbendaharaan negara guna menebus kemerdekaannya. … Rasulullah memerintahkan agar memperlakukan para budak dengan ramah dan santun, sebagaimana perlakuan kepada keluarga dan tentangga atau seperti pada teman seperjalanan. Dianjurkan untuk “memberikan sebagian harta kekayaan yang dianugrarhkan Allah kepadamu.” Para majikan dilarang mempergunakan kekuasaanya dalam melampiaskan hawa nafsunya kepada budak yang dimilikinya. Pembebasan budak dilakukan sebagai tebusan karena membunuh seorang Islam dengan tidak sengaja, dan perbuatan kesalahan lainnya.
Dari kutipan di atas nyata sekali bahwa salah satu cara dalam agama Islam untuk menghapus perbudakan adalah diperkenankannya seorang budak meminta (menuntut) kemerdekaannya pada tuannya dengan perjanjian bahwa ia akan membayar sejumlah uang yang ditentukan. Dan untuk lebih capat lunasnya perjanjian tersebut hendaklah budak-budak itu ditolong dengan harta yang diambil dari zakat. Begitu pula ajaran-ajaran al-Qur’an dibawa oleh Nabi mengharuskan menyantuni; memberi zakat; dan memperlakukan budak secara ramah, baik, dan adil serta manusiawi.
Pada sisi lain, al-Qur’an juga mempuyai cara tersendiri dalam mengupayakan pemebebasan budak. Bagi seseorang yang melakukan pelanggaran ajaran agama, maka kaffarah alternatifnya adalah membebaskan budak. Misalnya, pertama, apabila seseorang membunuh dengan tidak sengaja orang mukminm, kaffarahnya, disamping membayar “diat”, adalah membebaskan budak; kedua, bagi seseorang yang bersumpah dan melanggar sumpahnya maka hukumannya, kalau tidak memberikan makanan dan pakaian kepada keluarga, maka harus memerdekakan budak; ketiga, bagi orang-orang yang menzihar istrinya, sebelum berhubungan kembali dengan istrinya, maka hendakalah ia memerdekakan budak.
Sementara itu, kalau pada periode Mekkah, al-Qur’an masih mentolerir si tuan “menggauli mamalakatnya” di luar nikah, maka pada periode Madinah al-Qur’an tampak sekali berupaya untuk mengangkat derajat kaum wanita, sehingga kalau si tuan berhasrat ingin “menggauli” budak-budak wanitanya dianjurkan terlebih dahulu menikahinya secara sah. Untuk itu, al-Qur’an tidak memperkenankan lagi si tuan memaksakan hasrat lebido seksnya kepada budak-budak wanita yang mereka miliki, apapun alasanya, termasuk demi menjaga kemaluan dan kehormatan, sebelum nikahi dengan baik-baik. Bahkan Islam mengajarakan bahwa mengawini wanita budak lebih baik dari wanita-wanita merdeka, tetapi musyrik.
F. Islam Liberal dan Rasional: Kehidupan Eskatologi
Gagasan mengenai kehidupan eskatologi --kehiudupan kedua setelah kematian di dunia ini-- merupakan gagasan umum pada setiap bangsa di masa lampau, meskipun penjabarannya berbeda satu dengan lainnya. Lagi pula, kehidupan eskatologis termasuk doktrin keimanan semua agama-agama, khususnya agama Semit. Sehingga mempercayai kehidupan eskatologis merupakan bagian penting bagi eksistensi hidup manusia. Namun, apabila kenyataan ini diperhatian berkaitan dengan perkembangan peradaban manusia, maka konsepsi tentang eskatologis juga merupakan perkembangan wajar dari pemikiran umat manusia. Syed Ameer Ali mencontohkan, masyarakat tidak berperadaban hampir-hampir tidak mempunyai banyangan mengenai kehidupan setelah kehidupan di dunia ini.
Bangsa Mesir dikatakan sebagai bangsa pertama kali mengenal kehidupan kedua (eskatologis) setelah kehidupan sekarang ini. Agama Yahudi pada mulanya tidak mengenal adanya kehidupan akhirat; dan dengan sendirinya tidak mengenal adanya ganjaran dan hukuman atas perbuatan yang telah dilakukan. Karena seluruh sistem hukum agama Yahudi hanya berkisar pada ganjaran dan hukuman yang diperoleh di dunia ini semata. Namun, orang-orang Israil yang tinggal di Mesir memasukkan paham kehidupan eskatologi tersebut beserta pemahaman adanya ganjaran dan hukuman diperoleh nantinya ke dalam sistem ajaran mereka. Begitu pula dengan agama-agama sebelum Islam, seperti agama Zoroaster dan Kristen, pada umumnya menggambarkan adanya kehidupan eskatologi beserta balasan yang diperoleh di dalamnya. Akan tetapi, ganjaran kebahagian dan balasan kesengsaraan akan diperoleh dalam bentuk jasmani, dan bukan dalam bentuk rohani.
Ketika Islam hadir pada bangsa Arab, gagasan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad tentang kehidupan akhirat pada mulanya dipengarhui oleh pandangan-pandangan yang berkembang pada waktu. Sehingga konsepsi Islam mengenai kehidupan eskatologis bersifat eklektisisme. Akan tetapi, menurut Ameer Ali, gagasan utama dan terpenting mengenai kehidupan eskatologis dalam pandangan Islam adalah:
…. berdasarkan keimanan bahwa kehidupan setelah kematian, setiap manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia ini, baik laki-laki maupun perempuan. Dan bahwa kebahagian dan kesengsaraan seseorang sangatlah tergantung bagaimana cara mereka melaksanakan perintah-perintah Penciptanya. Akan tetapi, rahmat dan kasih-sayang-Nya tidak terbatas dan akan dikaruniakan-Nya dengan adil kepada makhluk-Nya. Inilah intisari keseluruhan ajaran Islam tentang kehidupan di akhirat. Dan inilah satu-satunya ajaran yang wajib dipercayai dan terima. Sementara unsur-unsur lainnya hanyalah tambahan yang diambil dan disesuaikan dari tradisi berkembang di kalangan bangsa-bangsa pada masa itu.
Berbagai ayat al-Qur’an awal, sebagian besar diturunkan di Mekkah, menggambarkan tentang konsep surga dan neraka secara realistis dan materialistis dengan rumusan bahasa yang mudah dipahami oleh orang kebanyakan di padang pasir. Gambaran surga dan neraka seperti itu, kata Ameer Ali, diambil dari khayalan yang beredar di antara pengikut Zoroaster, Saba dan orang Yahudi yang berpegang kepada Talmud. Mislanya gambaran tentang surga (firdaus) beserta hauri-hauri (bidadari-bidadari) adalah gagasan yang diambil dari keprcayaan orang-orang Zoroaster dari Zendavesta; sedangkan gambaran tentang neraka beserta hukuman yang mengerikan berasal dari kepercayaan orang-orang Yahudi dari Talmud.
Gagasan tentang balasan kebaikan (surga) dan hukuman kejahatan (neraka) sesudah mati merupakan janji dan ancaman yang manjur untuk mempengaruhi tingkah laku manusia baik secara individual dan kolektif. Kebajikan dilaksanakan demi kebajikan itu sendiri , kata Ameer Ali, hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang perpikiran maju; sebaliknya bagi awam (orang kebanyakan) yang tidak terpelajar akan selalu memerlukan janji-janji dan sanksi-sanksi sebagai motivasi. Karenanya, berbicara tentang surga dan neraka dalam pengertian kenikmatan ruhani dan penderitaan spritual, hampir-hampir tidak mungkin diungkapkan kepada masyarkat awam tanpa mempergunakan kata-kata yang dapat divisualisasikan.
Pada awalnya, gambaran ayat-ayat al-Qur’an tentang surga dan neraka sangat bersifat materialistik. Ini mislanya dapat terlihat pada ayat-ayat yang turun di Mekkah. Karena al-Qur’an diturunkan pada masyarakat yang tidak sama tingkat kecerdasan dan tingkat kesadaran spritualnya, maka bagi masyarakat awam al-Qur’an tampil dengan menggambarkan surga, seperti taman yang asri dan nyaman, dialiri oleh air. Dan di dalam surga seorang dapat menikmati kenyamanan yang sangat bersifat bendawi (material), seperti makanan buah-buahan, minuman susu dan madu serta bidadari-bidadari (pelayan-pelayan) yang secara langsung memberikan gambaran kenyamanam kehidupan seksual. Begitu pula, neraka digambarkan sebagai api yang berkobar-kobar yang bahan bakarnya teridiri dari batu dan manusia itu sendiri. Gambaran seperti ini perlu untuk meningkatkan moral masyarakat awam dalam melaksanakan kebaikan dan meninggakan kejahatan.
Gambaran al-Qur’an tentang balasan dan siksaan di akhirat mengalami perkembangan pada diri Nabi Muhammad sesuai juga dengan tingkat perkembangan kecerdasan umat Islam pada waktu:
…. Pada awalmuya kesadaran keagamaan Nabi Muhammad saw. sendiri yang percaya kepada beberapa tradisi yang beredar di sekitarnya. Tetapi dengan tumbuhnya kesadaran yang lebih mendalam, semakin mendalam pula rasa penyatuan dengan Pencipta Semesta. Maka pikiarn-pikiran sebelumnya yang hanya melihat pada aspek kebendaan, kemudian melihat pada aspek spiritual. Perkembangan pikiran Rasulullah tidak saja karena dengan perjalanan dan perkembangan kesadaaraan keagamaannya, tetepi juga karena dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran pengikutnya dalam menangkap konsepsi-konsepsi spiritual. Karenanya, dalam surat-surat yang turun belakangan terlihat leburnya sifat-sifat kebendaan dalam sifat-sifat keruhanian; leburnya jasmani dalam jiwa.
Jadi dibalik gambaran-gambaran kehidupan akhirat baik di surga maupun di neraka ada pengertian spritual yang abstrak lebih mendalam dan hakiki. Akan tetapi, karena pengertian surga dan neraka itu bersifat spritual-abstrak maka tidak ada seorang pun yang mengetahui hakekatnya, sebagaimana firman Allah: “Tidak seorang pun yang mengetahui (kebahagian yang mutlak itu) yang disembunyikan (dirahasikan) bagi mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” Begitu pula mengenai gambaran-gambaran surga, mislnya berupa air yang mengalir, sungai madu, sungai susu, sungai arak, dan taman-taman berserta buahnya, serta bidadari hanyalah sebagai tamtsil-‘ibarah. Begitu pula gambaran al-Qur’an tentang kondisi kehidupan neraka (api menéala-nyala) harus pahami sebagai tamtsil-‘ibarah. Karenanya, dalam memahami perumpamaan (tamtsil) tentang surga dan neraka ini harus menyeberangi (‘ibarah) makna yang ada dibaliknya (memahami secara batini).
Dengan berkembangnya pemahaman Nabi Muhammad dan diiringi dengan perkembangan pemahaman sebagian dari umat Islam dengan tingkat kecerdasan dan kesadaran spritual yang tinggi. Maka gambaran al-Qur’an yang semula bersifat material itu tidak terlalu berarti dan tidak diperlukan lagi. Pada gilirannya pemahaman seperti itu diganti dengan pemaknaan secara simbolik. Lebih dari itu, kebahagian yang paling hakiki kelak di akhirat adalah ketika tersingkapnya tudung ilahi yang memisahkan Tuhan dengan hambanya yang saleh; dan ini surga sesungguhnya. Nabi bersabda: “Yang paling diredhai oleh Allah ialah orang yang melihat (kemulian) Tuhannya diwaktu petang dan pagi. Inilah kesenangan yang melebihi segala kenikmatan badani…” Pada kesempatan lain Rasullah bersabada:
Allah menyediakan bagi hamba-hambanya apa yang tidak pernah didengar oleh telinga; tidak pernah dilihat oleh mata; dan tidak pernah terbetik dalam hati sekalipun. Lalu diucapkan ayat al-Qur’an berikut: “ tidak ada seorangpun yang mengetahui kegembiraan yang disembuynikan bagi mereka sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
Dalam mencermati ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat metaforis, sebagian mazhab pemikir hukum Islam memasukkan sebagai ayat-ayat mutasyabihat, dimana pengertian yang sesungguhnya hanya Allah yang mengetahuinya. Sementara pemikir Islam dari kalangan filsafat dan tasawuf lebih jauh memaknai ayat-ayat al-Qur’an tentang surga dan neraka sebagai kebahagian dan kesengsaraan yang bersifat subyektif dan ruhani semata. Karena dalam padangan mereka kesengsaraan atau kebahagian rohani lebih menyakitkan atau lebih menyenangkan dibandingkan kalau bersifat ragawi. Artinya, kehadiran raga akan mereduksi kebahagian dan kesengsaraan yang sesungguhnya. Padahal surga dan neraka adalah tempat pembalasan yang paling sempurna. Karenanya, pandangan para filosuf dan sufi menyatakan bahawa hanya jiwa yang dibangitkan dan kembali kepada Allah.
Akhirnya, Ameer Ali menyimpulkan, cukuplah sudah bukti-bukti kesalahan atas pandangan yang menyatakan bahwa gagasan-gagasan Nabi saw. tentang kehidupan eskatologi keseluruhannya bersifat meterial dan badaniah. Untuk itu, ia menutup pembahasannya mengenai kehidupan eskatologi ini dengan mengutip ayat al-Qur’an yang menunjukkan betapa dalam aspek-aspek sepritual dalam Islam, sebagai berikut: “wahai jiwa yang tenang dan damai! Kembalilah kepada Tuhan-Mu dengan ridha dan meridahai. Masuklah di antara hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
G. Kesimpulan
Jejak Kejayaan Islam. Umat Islam klasik mempunyai kedikjayaan dalam bidang politik, ekonomi dan perdagangan, lantaran mereka mengamalkan ajaran-ajaran yang langsung diwarisi dari Nabi saw. Di antara konsep hidup yang diwarisi itu adalah penghargaan kepada akal [menggunakan akal secara rasional dan liberal]; sikap hidup yang tidak fatalis. Akan tetapi, umat Islam kehilangan segala kekayaan dimilikinya ketika mereka mengabaikan konsep dan sikap hidup tersebut. Karenanya, ketika umat Islam ingin kembali membangun ulang kejayaannya masa lampunya, maka kunci utamanaya: rasionalisme dan liberalisme.
Poligami Dalam Islam. Islam pada dasarnya, menurut Syed Ameer Ali, tidak mengharamkan poligami. Karena pada kondisi tertentu poligami dapat dibenarkan dan malah boleh jadi dianjurkan. Akan tetapi, sprit ajaran Islam tidak memperkenankan poligami. Disimpulkan pria yang berpoligami dapat dipastikan tidak akan berlaku adil terhadap istri-istrinya; dan perempuan yang dimadu juga dapat pastikan tidak meresa nyaman dengan kondisinya tersebut. Padahal perkawinan dalam Islam meniscayakan berangkat dari keadilan; dan muara yang ingin dituju adalah kenyamanan (kebahagian) itu sendiri.
Budak Dalam Islam. Dalam pandangan Syed Ameer Ali, Islam nyata sekali melarang perbudakan. Nabi Muhammad saw. sendiri telah bersungguh-sungguh untuk menghapus perbudakan dalam Islam dengan berbagai cara. Perbudakan ibarat dua mata pisau, bukan saja pengingkaran terhadap kemanusiaan, tetapi sekaligus pengingkaran terhadap ketuhanan: sang majikan meniadakan kemanusiaan seseorang (dzalim); dan sang budak mengakui adanya dua sandaran dan pengabdian kehidupan (syrik). Islam dengan Nabinya hanya mengakui perbudakan lewat tawanan perang. Artinya ketika peperangan sudah tidak ada perbudakan menjadi absurd. Tetapi dewasa ini, muncul perbudakan ala modern. Manusia tidak lagi diperbudak oleh sesama manusia, tetapi malah diperbudak oleh dirinya sendiri [oleh pekerjaannya, misalnya] atau dipeerbudak oleh hasil cipta-karsanya sendiri, suatu kehidupan yang lebih ironis, sesungguhnya.
Eskatologi Dalam Islam. Gagasan pokok dan utama tentang kehidupan eskatologis dalam Islam, menurut Syed Ameer Ali, adalah tempat mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang telah dilakukan di dunia fana. Sementara gagasan lainnya, misalnya apakah kehidupan eskatologis itu bersifat badaniah atau spritual itu adalah merupakan percabangannya. Konsepsi eskatologis dalam Islam mengalami perkembangan, seiring dengan kematangan pemikiran keagamaan dan kedalaman spiritualitas seseorang. Sehingga, pada gilirannya spirit ajaran Islam dalam kehidupan akhirat lebih menekankan pada ganjaran dan balasan bersifat spritual dan rohani.
Wa Allah a’lam bi al-Sawâb.
Ma al-Taufiq wa al-Hidayah illa bi Allah


Ciputat, 7 Mei 2002
*Penulis adalah alumni Aqidah-Filsafat, Ushuuddin UIN (dulu IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Kini Tenaga pengajar di Fakultas Tarbih dan Keguruan UIN SUSKA Riau.; kini sedang studi pada Program Pascasarjana (S3) di almamaternya, UIN Jakarta.

Catatan Akhir
Lihat, Sachiko Murata, The Tao of Islam, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 316.
Pertama, pemikir kelompok Muslim ini melihat bahwa biang keladi (kerok) seluruh keterbelakangan dunia Islam adalah karena berkembangnya paham khurafat dan telah menjauhnya kaum Muslim dari ajaran aslinya, al-Qur’an dan Hadis. Menurut kelompok ini, jika umat Islam ingin meraih kembali kejayaan masa silam yang pernah dimiliki, mereka harus kembali ke pangkal; mengikis segala khurafat dan bid’ah serta kembali kepada al-qur’an dan al-Sunnah. Gerakan ini kemudian dikenal sebagai gerakan furifikasi, seperti yang dimotori oleh gerakan Wahabiah di Hijaz. Kedua, pemikir Muslim dalam kelompok ini melihat bahwa sebab-sebab ketidakberdayaan dunia Islam tersebut dikarenakan perpecahan dan tidak adanya persatuan di kalangan umat Islam yang mengakibatkan mereka menjadi terjajah. Untuk itu, menurut kelompok ini, umat Islam harus menggalang persatuan dan membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Dalam kelompok ini termasuk Jamaluddin al-Afghani sebagai pelopor utamanya yang terkenal dengan pemikiran Pan- Isalamisme. Ketiga, pemikir Muslim dalam kelompok ini melihat bahwa biang kerok dari segala keterbelakangan dunia Islam adalah karena kejumudan pemikiran lantaran tertutupnya pintu ijtihad. Sebagai jalan keluarnya agar ummat Islam dapat kembali membangun peradabanaya, mereka harus membuka lebar-lebar pintu ijtihad dengan mempergunakan rasionalitas-liberalitas secara kental, sembari menambil nilai-nilai dari barat yang relevan dan tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Di antara tokoh dari kelompok ini yang sangat artikulatif adalah Muhammad Abduh dan belakangan dielaborasi oleh Syed Ameer Ali dari anak benua India.
Negeri-negeri Islam jauh tertinggal oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia dan Selandia baru yang bergama Protestan; oleh Eropa Selatan yang Katolik Romawi; oleh Eropa Timur yang Katolik Ortodoks; oleh Israil yang Yahudi; oleh India yang Hindu; oleh Cina, Korea Selatan, Taiwan dan Hongkong serta Singapura yang Budhis-Konfusionis; oleh Jepang yang Budhis-Teois; dan oleh Thailan yang Budhis. Lihat, Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 21.
Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, hal. 22.
Lihat, Muhammad Abduh, al-Islam wa Nasharaniyah, (Cairo: …..), hal. ; bandingakan dengan Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 1984), hal. 322-323; dan Hourani, Arabic Thoughth in the Liberal Age 1798-1939, (London & New York: Oxford University Press, 1962), hal. 130-159.
Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, hal. 165.
Fazlur Rahman, Islam, hal. 322-323.
Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, (Delhi: Idarah-I Adabiyat Delli, tt.), hal. 435.
Lantaran menonjolkan kejayaan Islam masa klasik, akibatnya ia kerapkali disebut olah orang-orang Barat sebagai apolog terbesar. Memang, melalui karyanya, The spirit of Islam, Syed Ameer Ali berusaha untuk membuktikan kepada dirinya (baca: ummat Islam) dan pada orang-orang lain (baca: orang Barat) bahwa Islam adalah baik dan benar. Disamping itu, sepertinya Islam merupakan suatu proses akhir yang paling sempurna dari agama dan kepercayaan sebelumnya. Sebenarnya masalah apologia merupakan satu hal yang harus diketahui oleh orang yang ingin memahami pemikiran-pemikiran modern dalam dunia Islam. Karena sebagian besar pemikir Muslim modernis, menurut Mukti Ali, secara umum masuk dalam kategori ini. Tidak sedikit dari karya-karya dan pernyataan-pernyataan kaum Muslim modernis tentang agama Islam pada dasarnya adalah pembelaan diri. Oleh para ilmuan Barat, argumen para Muslim modernis pada umumnya dicemooh sebagai pembenaran belaka. Memang maksud baik para Msulim modernis tersebut diakui, tetapi nilainya tidak seberapa. Paling tidak, pandangan seperti ini, menurut Baljon, ada dua alasan yang menjadi penyebabanya. Pertama, kaum orientalis mendasarkan pendapatnya secara terlampau esklusif pada karya-karya pemikir Muslim modernis yang ditulis dalam bahasa Eropa (Inggris), khususnya buku yang sejenis The spirit of Islam tersebut. Namun tulisan-tulisan seperti ini tidak cocok untuk dijadikan contoh (dalam mengeneralisir). Alasannya sederhana saja, yaitu para penulis Muslim terlalu sadar bahwa tulisan-tulisannya akan dibaca oleh orang-orang Barat; dan bahwa penulis tersebut harus selalu waspada untuk mempertahankan nama baik Islam. Oleh sebab itu, usulan-usulannya secara apriori bersifat pembenaran dalam arti kata yang sempit. Apa yang diuraikan para penulis Islam tadi, dalam pikiran para pembaca Barat, tampak berlebihan dan kurang meyakinkan. Sebaliknya, pandangan pembenaran yang ditulis dalam bahasa, selain bahasa Inggris, Urdhu dan Arab, misalnya jauh lebih berimbang. Karena tulisan dalam dua bahasa terakhir tidak ditujukan kepada orang asing (Kristen-Barat), sehingga tidak ada keraguan. Lagi pula, sarana bahasa yang dipergunakan lebih memudahkan mereka memformulasikan gagasan-gagasan Islam tertentu dengan menyampaikan secara tidak langsung dan sedikit lebih halus. Kedua, lazimnya orientalis Barat tidak menyadari apologetik merupakan aplikasi agama yang sesungguhnya. Sebenarnnya, agama menggambarakan respon manusia terhadap realitas transenden. Sebuah respon seperti itu dengan sendirinya dibatasi kemampuan-kemampauan yang inheren pada diri manusia. Karenanya, kepercayaan harus menggunakan bahasa sederhana dan harus mengikuti aturan pemikiran dan petunjuk. Baik cara berbicara maupun berpikir merupakan produk masanya. Jadi agama harus mengakomodasinya sendiri terhadap semangat dan kondisi masanya. Kalau tidak, agama benar-banar tidak berfungsi. Dan dari kebutuhan yang mendesak untuk berkomunikasi dengan “dunia liar” pada gilirannya secara alami menuntut sikap apologetik. Lihat, H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 143; lihat juga, J.M.S. Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960), (Leiden: E. J. Brill, 1968), hal. 121-122.
Fazlur Rahman, Islam, hal. 322-323.
Dalam buku ini, pengarangnya mengulas ajaran-ajaran Islam mengenai tauhid, ibadah, hari kiamat, kedudukan wanita, perebudakan, sistem politik. Di samping itu, dia juga menguraikan kemajuan ilmu pengetahuan dan pemikiran rasional, liberalis dan filosofis serta sufistik. Dalam pengkajian Ameer Ali terhadap gagasan-gagasan Islam acapkali pemberbandingkan dengan mengutarakan baberapa ajaran agama-agama dan tradisi-tradisi kepercayaan yang ada sebelum Islam. Di atas segalanya, buku juga mengulas sejarah awal Islam, tentu saja yang menjadi fokusnya adalah sang pembawa risalah, Nabi Muhammad. Menurut Harun Nasution, buku ini mempergunakan metode perbandingan, ditambah dengan uraian yang rasional dan liberal. Dia terlebih dahulu memaparkan ajaran-ajaran yang serupa dengan agama-agama lain, kemudian menjelaskan dan menyatakan bahwa Islam membawa perbaikan dalam ajaran-ajaran bersangkutan. Selanjutnya, dia memberikan argumen rasional dan liberal untuk menyatakan bahwa ajaran Islam tersebut tidak bertentangan, dan bahkan sejalan dengan pemikiran akal dan modernitas. Lihat, Harun Nasution, Pemebaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarata: Bulan Bintang), hal. 183. Sedangkan menurut H.A.R. Gibb, secara garis besar, isi buku tersebut dibagi menjadi tiga. Pertama, Menguraikan sejarah hidup Nabi Muhammad. Dia menampilkan sosok Nabi Muhammad sebagai manusia yang menyejarah. Berbeda misalnya dengan gambaran yang diberikan oleh kaum sufi tentang Nabi Muhammad yang sarat dengan hal-hal supra-rasional dan unsur-unsur kekaramatan. Meskipun memang Ameer Ali juga menyatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai contoh kebajikan yang par exellances dan penjelamaan manusia yang paling agung (insan kamil). Kedua, ajaran Nabi Muhammad dihidangkan dalam cita-cita sosial zaman sekarang. Empat kewajiban ibadah mahdah, sholat, puasa, zakat dan haji, dia paparkan atas dasar yang masuk akal berhubungan dengan fungsi sosialnya. Ketiga, perbudakan, poligami dan lainnya merupakan kelamahan moral dan sosial, dan itu diakuinya. Akan tetapi, dijelaskan bahwa kondisi tersebut bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan tanggung jawab terhadap masalah itu diletakkan di atas pundak para ulama dalam ilmu fiqh belakangan. Perbudakan misalnya bertentangan dengan (semangat) ajaran al-Qur’an tentang persamaan semua keturunan Adam; poligami terlarang dengan syarat-syarat dalam al-Qur’an; perceraian seharusnya ditolak dengan semangat ajaran dan contoh dari Nabi Muhammad. Lihat, H.A.R. Gibb, Islam Dalam Lintas Sejarah, (Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1983), hal. 134-135
H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, (Jakarta: Grafindo, 1996), hal. 119.
Lihat, Mircea Eliada (ed.), The Ensyclopedia of Religion, vol. 1, (New York: Macmilan Library Refeerence, 1995), hal. 232.
H.A.R. Gibb, The Ensyclopedia of Islam, (Laiden: E.J. Brill, 1960), hal. 442; bandingkan dengan Harun Nasution (ed.), Ensiklopedi Islam, Jilid I (Jakarta: Depag, 1993), hal. 120; Abdul Azis Dahlan (ed.), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1993), hal. 28.
H.A.R. Gibb, The Ensyclopedia of Islam, hal. 442; Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Islam, hal. 28.
Mircea Eliada, The Ensyclopedia of Religion, hal. 232. Mungkin ada benarnya, ketika berada dan belajar di London, Syed Ameer Ali dipengaruhi oleh ide Humanisme dan pemikiran sekuler Barat (bangsa Eropa) dan begitu liberal dalam memahami ajaran agama, serta mengunakan pendekatan rasional dengan mengenyampingkan bentuk lahiriah dan mengutamakan “spirit” (makna batin) al-Qur’an. Lihat, Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Raja Arafindo Persada, 1999), hal. 28. Akan tetapi pengaruh tradisi pemikiran rasionalisme-tologis Mu’tazilah dan intelektual liberalisme-filosofis Sy’ah yang lebih menentukan krarir pemikiran dan intelektualitas Ameer Ali jika dibandingkan dengan pengaruh dari tradisi pemikiran Barat.
Lihat, H.A.R. Gibb, The Ensyclopedia of Islam, hal. 442; Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Islam, hal. 28.
Ahmad Anis, Two Approaches ti Islamic History: A Critigue of Shibli Nu’mani’s and Ameer Ali’s Interpretation of History; (Michigan: Michigan Univeersity Press, 1980), hal. 55.
Buku ini terbit pertama kali (1875) dengan judul A Critical Examination of Life and Teaching of Muhammad, di saat usia pengarangnya baru 24 tahun, suatu ukuran usia yang relatif sangat muda untuk melahirkan sebuah karya yang begitu monumental. Pada tahun 1891 buku ini kembali terbit dengan judul lain The Life dan Teaching, or the spirit of Islam: A History of Revolution and Ideal of Islam, with Life of Prophet. Pada cetakan-cetakan berikutnya, penulis melakukan revisi dan perbaikan terhadap karyanya itu. Sejak tahun 1922 buku ini terbit kembali dengan judul singkatnya, seperti yang kita kenal sekarang, The Spirit of Islam dengan berkali-kali naik cetak ulang sampai sembilan kali hingga ditahun 1961. Selain karyanya ini, Syed Ameer Ali juga menulis buku di bidang hukum, sesuai dengan bidang kesarjanaanya, Muhammedan Law. Sebagai bukti ketertarikan dan sekaligus penguasaannya dalam bidang sejarah, dia menulis buku tentang sejarah ummat Islam, A Short History of the Saracens. Buku yang disebut belakangan ini telah naik cetak berulang-ulang kali, hingga tiga belas kali naik cetak sampai ditahun 1961. Lihat, Azis Ahmad, Islamic Modernism in India and Pakistan, (London: Oxford University, 1967), hal. 87; bandingkan dengan Ali Audah, “Catatan Selintas” dalam Syed Ameer Ali, Api Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 20.
Harun Nasution, Pemebaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hal. 183.
H.A.R. Gibb, The Ensyclopedia of Islam, hal. 443
H.A.R. Gibb, The Ensyclopedia of Islam, hal. 443; Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Islam, hal. 29; bandingan Harun Nasution (ed.), Ensiklopedi Islam, hal. 121.
John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic world, (New York-Oxford: Oxfrd Iniveersity Press, 1995), hal. 84-85; Mircea Eliade, The Ensyclopedia of Religion, hal. 233.
Sayyid Amier Ali, The Spirit of Islam, hal. 403
Harun Nasution, Pemebaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hal.188.
W.M. Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity, (London & New York: Routledge, 1988), hal. 64.
Al-Qur’an, al-Baqarah (2): 284; al-Maidah (5): 18.
Al-Qur’an, ali ‘Imran (3): 26.
Al-Qur’an, al-Thalak (65): 3.
Al-Qur’an, al-Maidah (50): 120.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 404-405.
Al-Qur’an, al-Ra’du (13): 11.
Al-Qur’an, Yunus (10): 108.
Al-Qur’an, al-A’raf (7): 28.
Al-Qur’an, al-Taubah (9): 70.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 405-406.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 403.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 405. Agaknya, Ameer Ali secara umum menyamakan antara hukum alam (law of Nature) dan sunnah Allah. Kalau kedua hukum itu hendak dipilah, meminjam pembagian dilakukan oleh Nurcholish Madjid, maka hukum yang disebut pertama (hukum alam) lebih berkonotasi pada ketentuan Allah pada dunia materi dan hasilnya bersifat eksakta, pasti dan mudah untuk diukur serta berlangsung dalam rentang waktu seketika, misalnya air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, atau contoh lainnya, api membakar, dan lain-lain. Sementara hukum yang disebut balakangan, (sunnatullah) adalah ketentuan Allah yang bersifat sosiologis dan hasilnya bersifat sangat cair (fluid), tidak tetap dan sukar untuk diukur serta berlangsung dalam rentang waktu yang lama, contohnya bahwa kekuasaan yang dispotik (zalim), akhirnya pasti akan hancur.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 405-406
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 435; bandingakan dengan Harun Nasution, Pemebaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hal.188.
Di sini kami ungkapkan beberapa ayat yang mendukung pernyataan di atas, seperti: (i) “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam .... ada tanda-tanda bagi orang yang berakal”. (QS. 2: 264). (ii) “Dan ketika dikatakan kepada mereka, “Ikutilah peraturan-peraturan yang diturunkan Tuhan,” Mereka menjawab, “Tidak, kami hanya mengikuti kebiasaan yang telah kami dapatkan dari nenek moyang kami”. Apakah akan diikuti juga walaupun nenek moyang mereka itu tidak berakal sama sekali dan tidak pula mendapat petunjuk dari Allah?” (QS. 2: 170). (iii) “Dan ketika kamu mengajarkan mereka untuk shalat, mereka menjadikan ajaran itu buah ejekan dan permainan. Itu karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akalnya” (QS. 5: 58). (iv) “Apakah mereka itu tidak pernah bepergian di muka bumi ini, supaya hatinya tersentak untuk memikirkan kemusnahan itu atau telinga terngiang untuk mendengarkan? Sebenarnya yang buta itu bukan mata di kepala, melainkan hati yang ada di dalam dada” (QS. 22: 46).
Dalam hal ini terkenal sekali tentang difinisi manasia di kalangan filosuf yang menyebutkan, “al-insan hayawan natiq” (manusia adalah [jenis] hewan yang perpikir). Bagi mereka akal adalah anugrah Allah yang paling berharga kepada manusia. Lihat, Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, hal. 162
al-Qur’an, al-Baqarah (2): 30-34
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 403
Disini kami sebutkan beberapa hadits yang jarang terdengar di kalangan orang Sunni, tetapi akrab di telinga orang Syi’ah, diantaranya:
Allah tidak akan menerima shalat seorang hamba, juga tidak pada puasanya, hajinya, umrahnya, sedekahnya, jihadnya, dan apapun jenis kebaikan yang diucapkannya, jika ia tidak menggunakan akalnya. Telah sampai kepada kami bahwa ketika menciptakan akal, Allah memerintahkan kepadanya (akal), “Duduklah”, dan ia pun duduk. Lalu perintah-Nya lagi, “Majulah”, maka ia pun maju; lalu perintah-Nya lagi, “Lihatlah”, dan ia pun melihat; lalu perintah-Nya lagi, “Bicaralah”, dan ia pun bicara, lalu perintah-Nya lagi, “Perhatikan” dan ia pun memperhatikan, lalu perintah-Nya lagi, “Dengarkanlah”, dan ia pun mendengarkan, lalu perintah-Nya lagi, “Mengertilah”, dan ia pun mengerti. Kemudian Allah berfirman kepadanya, “Demi kemuliaan-Ku, keagungan-Ku, kebesaran-Ku, kekuatan-Ku dan kekuatan-Ku atas makhluk-Ku, Aku tidaklah menciptakan makhluk yang lebih mulia bagi-Ku dan lebih Aku cinta daripada engkau, juga lebih tinggi kedudukannya daripada engkau. Sebab dengan engkaulah Aku disembah, dengan engkaulah Aku dipuja-puji, dengan engkaulah Aku memberi, dengan engkaulah Aku menyiksa dan bagi engkaulah pahala.
Seorang Bani Qusyayri datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Kami dahulu di zaman jahiliah menyembah berhala dan kami dahulu berpendapat bahwa berhala itu dapat memberi mudarat dan manfaat”. Maka Rasulullah bersabda, “Telah beruntunglah kamu orang yang baginya Allah telah menganugerahi akal”.
Akal (‘aql) adalah belenggu (‘iql) untuk melawan kebodohan. Jiwa adalah seperti hewan yang paling buruk. Jika ia tidak mempunyai akal, ia berkeliaran dalam kebingungan, sebab akal adalah belenggu untuk melawan kebodohan.... lalu dari akal tumbuhlah cabang pertimbangan (hilm), yaitu pertimbangan pengetahuan, dari pengetahuan tumbuh petunjuk yang benar, timbul pantangan, dari pantangan timbul pengendalian diri, dari pengendalian diri timbul rasa malu dan dari rasa malu ada ketakutan, dari ketakutan muncul amal baik. Lihat, Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, hal. 50-51; lihat juga, Sachiko Murata, The Tao of Islam, hal. 315.
Ia merupakan kepala keturunan nabi Muhammad. Ja’far al-Shadik adalah seorang yang sangat rasionalis dan liberal. Ia seorang yang sangat terpelajar, seorang penyair, filosuf dan rupa-rupanya ia menguasa beberapa bahasa asing. Karenanya, ia acapkali berhubungan dengan sarjana dan budayawan dari kalangan agama Kristen, Yahudi dan Zoroaster; dan dengan mereka ia sering melakukan dialog-dialog dan bertukar pikiran. Ja’far al-Shadik merupaan bapak rasionalisme dalam Islam di mana Abu Hanifah dan Imam Malik pernah berguru. Sehingga dari kedua muridnya ini sangat terlihat sekali pengaruh dan unsur rasionalitasnya dalam membangun sistem hukum yang mereka bangun, teruma sekali tampak pada diri Abu Hanifah. Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 411.
Pada masanya ia salah seoerang guru besar yang paling terkenal, dan termasuk golongan yang anti predistinasi. Ia adalah seorang kelahiran Madinah, dan konon, ia disusui oleh salah seoerang dari istri Rasulullah. Ketika ia remaja, menurut Ameer Ali, ia benar-benar pernah duduk bersama dengan keluarga dan keturunan Nabi dan menghirup pemikiran liberal dan rasional darinya. Dan ketika belakangan tinggal di Basrah, ia membuka halaqah-halaqah yang segera dikerumuni oleh peserta didik, termasuk dari Irak. Dan di antara muridnya yang terkenal adalah Abu Huzaifah Washil bin Atha’, yang belakangan menjadi pencetus lahirnya aliran teologi Mu’tazilah. Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 414.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 414.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 424-435; Harun Nasution, Pemebaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hal.188.
Dalam karya-karyanya, menurut Nurcholish Madjid, al-Muhasibi menuturkan hadits-hadits yang sangat mengesankan, sebagaimana hadits yang kami kutip di awal tulisan ini. Al-Muhasibi menolak pandangan sebagian ulama yang menyatakan bahwa hadits-hadits tentang akal itu palsu (maudhu), bikin-bikinan atau dhaif. Baginya, hadits-hadits itu adalah absah, karena maknanya sejalan dengan berbagai gambaran dan ajaran al-Qur’an. Dan hadits-hadits itu cukup menggambarkan suasana yang memberikan dorongan kepada kaum muslim klasik untuk menjunjung tinggi akal dan memikirkan rasional. Lihat, Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, hal. 49-50.
Mihnah atau inquisition adalah suatu gerakan untuk memeriksa paham pribadi: apakah Kalam Allah (al-Qur’an) itu qadim atau baharu (diciptakan). Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan al-Ma’mun, khalifah Abbasyiah, ketika menjadikan paham Mu’tazilah bahwa al-Qur’an adalah baharu (diciptakan) sebagai ajaran resmi negara. Sehingga bagi orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka (berpaham bahwa al-Qur’an itu qadim) dikejar-kejar dan disiksa, kalau perlu dibunuh. Salah seorang korban mihnah ialah sarjana keagamaan, Ahmad bin Hambal, pendiri mazhab Hambali yang banyak dianut di Arabiah. Karena itu, lahirlah perlawanan sengit kepada penggunaan akal secara bebas, sebagaimana yang dianut oleh kaum Mu’tazilah, muncul dari kalangan Hambali, yang juga dikenal sebagai ahlu al-hadits. Lihat, Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakaarta: Bualn Bintang, 1984), hal. 21; Kaki Langit Peradaban Islam, hal. 49-50. Al-Qur’an adalah baharu pada tataran wacana dapat saja dibenarkan. Akan tetapi, karena sudah berlanjut pada tingkat pemaksaan pemahaman maka menjadi salah dan dengan sendirinya sangat disesalkan. Sebagai sebuah diskursus pendapat Mu’tazilah bahwa al-Qur’an baharu adalah pandangan yang luhur karena bermaksud mensucikan Tuhan. Apabila dikatakan bahwa al-Qur’an adalah qadim, menurut Mu’tazilah, dapat merusak sistem kepercayaan kepada Tuhan Maha Esa. Artinya bahawa ada yang qadim selain Allah; dan kalau begitu sama dengan menduakan Allah (syirk). Kecenderungan pemikiran Mu’tazilah ini, menurut Stanton, didasarkan kepada pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa tidak ada yang dapat tercipta dari yang tiada (critio exnihilo). Dari sini kemudian Mu’tazilah menyimpulkan bahwa Tuhan telah menciptakan al-Qur’an. Disamping itu, pendapat Mu’tazilah ini sedikit banyaknya dipengaruhi dan dilatarbelakangi oleh sistem kepercayaan yang berkembang pada masa itu dengan konsepnya tentang “trinitas.” Dengan latar belakang seperti ini Mu’tazilah tampil untuk membela sistem keimanan dalam Islam. Lihat, Charles Michael stanton, Higher Learning in Islam: The Classical Period, 700-1300 (Rowman & Litlefield Publisheers, inc, 1990), hal. 77-78. Sehubungan dengan itu, pada dewasa ini dalam perbandingan agama, menurut ahli perbandingan agama, termasuk Nasr misalnya, adalah tidak tepat kalau memperbandingkan antara al-Qur’an dan Injil. Akan tetapi yang tepat dan selaras adalah perbandingan antara al-Qur’an dan Kristus. Karena Kalam Tuhan dalam Islam adalah al-Qur’an; dan Kalam Tuhan dalam Kristen adalah Kristus dan mengenai perbandingan Kalam Tuhan, misalnya lihat, Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (Lodon: Unwin Paperback, 1979), hal. 43.
Dalam apresiasinya yang kurang simpatik dan bahkan nyata sekali ketidaksenagannya, Ameer Ali menggambarkan tokoh ini: ia merupakan seorang puritan yang meledak-ledak; mengutuk semua orang yang tidak sependapat dengannya; ia marah kepada sifat liberal Hanafi dan menggapnya munafik; dan ia benci kepada kepicikan ajaran Malik; serta menganggap bahwa ajaran Syafi’i tidak ada keistimewaannya. Lalu ia menyusun sistem hukum baru yang didasarkan pada hadis-hadis dan memasukkan sejumlah besar cerita-certia yang tidak masuk akal serta membimbingunkan karena saling bertentangan dengan satu yang lainnya dan nyata sekali dibuat-dibuat. Lebih jauh, Ameer Ali menyatakan penilaian negatifnya, Ahmad bin Hambal mengutuk ilmu pengetahuan dan menyatakan perang terhadap rasionalisme. Masyarakat terpengaruh oleh kepandaian bicaranya atau oleh semangat masyarakat yang bergelora menyambut seruannya. Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 438. Komentar yang hampir senada datang dari Said Aqil Siraj. Menurut dosen Pascasarjana IAIN Jakarta ini, sebenarnya, Ahmad bin Hambal bukanlah ulama yang pintar-pintar amat, apalagi kalau bandingannya adalah Imam Syafi’i. Tetapi lantaran dia teguh pada pendiriannya (mempertahankan paham dan keyakinannya) dalam peristiwa mihnah, akibatnya dia mendapat simpati dari masyarakat banyak yang, (juga) menentang mihnah, sehingga pengikutnya menjadi banyak. Pada giliranya ia menjadi ulama masyhur dan disandingkan dengan tiga imam mazhab sunni besar lainn sebelumnya. Aqil Siraj lalu menyimpulkan: “untuk menjadi orang besar kadang-kadang tidak perlu dengan kepintaran tetapi cukup dengan keteguhan hati.” (Penulis simak dari Said Aqil Siraj dalam salah satu pertemuan kuliah Studi Naskah Tasawuf, 2 Oktober 2001).
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 439-340. Ameer Ali dalam memberikan penilaian terhadap sejarah, sepertinya kadang-kadang tidak fair. Karena ia telah terobsesi dan kagum terhadap rasionalisme Mu’tazilah, sehingga ia tidak melihat dan mengungkapkan kesalahan sejarah yang telah dilakukan oleh Mu’tazilah. Benar Mu’tazilah telah memainkan peran penting dalam membangun kebesaran Islam dalam bidang pemikiran, tetapi pada kenyataanya ia sendirilah pula meruntuhkannya lewat gerakan mihnah yang dilancarkannya. Karenannya, ketika situasi politik berubah adalah wajar kalau lawan politik meraka melakukan upaya-upaya balas dendam, seperti apa yang pernah Mu’tazailah lakukan terhadap diri meraka. Namun disayangkan, dan disinilah Sayed Amier Ali ada benarnya, bahwa yang turut menjadi korban adalah ilmu pengetahuan dan filsafat serta lenyapnya semangat rasionalsime dan liberalisme di kalangan umat Islam. Sementara itu, sikap dan penilaian Ameer Ali tidak seimbang ini --utamanya, misalnya sebutan yang dilontarkan kepada Mutawakkil sebagai seorang pemabuk dan terkadang terlihat seperti gila-- setidaknya dilatarbelakangi perlakuan kejam al-Mutawakkil kepada ilmu pengatahuan dan rasionalisme Mu’tazilah. Disamping itu, sikap dan penilaiannya juga disebabkan karena al-Mutawakkil pada masa pemerintahannya juga menghancurkan makam khalifah Ali r.a. dan keturunannya. Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal, 440.
Harun Nasution, Pemebaharuan dalam Islam…, hal.188.
Sebagai konsekuensi logisnya, maka timbullah hadits-hadits yang mengutuk penggunaan akal. Sekedar contoh, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Abbas, Nabi bersabda: “Orang yang menafsirkan al-Qur’an menurut pendapatnya harus siap menempati tempatnya di dalam api neraka”. Dan ironisnya lagi, Umar, dikenal seorang rasionalis, diriwayatkan pernah menyeru kepada masyarakat untuk berhati-hati terhadap pendukung akal karena mereka adalah musuh hadits-hadits Nabi. Lihat, Muhammad Muslehuddin, Filsafat Islam dan Pemikiran Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hal. 109.
Ini mungkin hanya berlaku di dunia Sunni, sedangkan di dunia Syi’ah, tradisi penghargaan kepada akal terus berlanjut. Menurut Sayyed Hossein Nasr, kegiatan intelektual tidak mati, seperti tudingan orang orientalis, dengan meninggalnya Bapak Rasionalis Islam, Ibn Rushd. Tudingan tersebut, menurutnya, terlalu banyak memiliki cacat dan sulit dipertanggungjawabkan. Lihat, Sayyed Hossein Nasr, Intelektual Islam: Teologi, Filsafat, dan Gnosis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1991), hal. 109. Bantahan yang senada sebelumnya juga dilontarkan oleh Ameer Ali. Baginya, rasionalisme dan pemikiran bebas tidaklah mati dalam dunia Islam. Pemikiran semacam itu tetap hidup di bawah pemerintahan Islam, Kerajaan Safawi di Persia. Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 435.
Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban, hal. 52-53.
Tradisi poligami dilakukan tanpa batas jumlah perempuan yang dinikahi oleh pria bani Israil sebelum masa Nabi Musa a.s. di Mesir dan dilanjutkan oleh orang-orang Ibrani. Meskipun belakangan Talmud di Yerussalem membatasi jumlah tersebut menurut kemampuan pria (suami) dalam memelihara istri-istrinya dengan baik. Meskipun para rabi menasehatkan supaya beristri tidak lebih dari empat tetapi tetap saja ada beberapa kelompok menentang pembatasan tersebut.
Kalau di Persia, agama yang mereka anut memberikan penghargaan dan hadiah kepada pria yang mempunyai istri banyak.
Di India dengan sistim kasta, seorang Brahmana berkasta tinggi [bahkan hingga dewasa ini] boleh mengawini perempuan sebanyak ia suka dan ia mampu.
Di Yunani, khususnya di Athena --suatu bangsa yang diklaim paling beradab dan mempunyai peradaban tinggi di antara bangsa-bangsa kuna-- wanita tidak lebih seperti hewan yang diperdagangkan. Dan seorang pria di Athena diperkenan untuk mengawini berapapun perempuan ia kehendaki.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 222-226.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 227-229.
Al-Qur’an, al-Baqarah (2): 228.
Ayat ini secara khusus membicarakan tentang konteks hubungan perkawinan yang ditetapkan oleh syariat. Sementara itu, Tuhan memberikan “sesuatu” pada kaum pria sehingga mereka mempunyai satu “derajat” (darajah) “lebih tinggi” atau “diatas” (`ala) kaum wanita. Para penafsir al-Qur’an tentu saja berupaya untuk menggali apakah “sesuatu” itu. Di antara penafsiaran-penafsiran tersebut, tentu saja, terjadi perbedaan-perbedaan satu dengan yang lainya. Berkaitan dengan ayat ini, Sa‘id Ibn al-Musayyib meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas hal berikut ini:
Ketika hari kebangkitan datang, Tuhan akan mengumpulkan para hakim dan ulama, dan mereka akan berbaris. Lalu seorang pria akan datang bersama dengan seorang wanita. Dia akan berkata, “Tuhanku, Engkaulah Hakim, Yang Maha Adil. Sebelum perkawinan, dia dan aku terlarang satu sama lainnya. Kemudian melalui perkawinan, kami boleh bergaul satu sama lainnya, dan dia menikamati kesenangan sebagaimana aku menikmatinya. Jadi mengapa Engkau wajibkan bagiku untuk memberikan mahar padanya?”
Tuhan bertaka, “Apakah engakau menerima mahar darinya?” Wanita itu berkata, “Ya.” Tuhan bertanya, “Siapa yang memerintahkanmu untuk melakukan hal itu?” Wanita itu menujuk kepada para ahli hukum. Lalu Tuhan berakata kepada para ahli hukum, “Apakah kalian memerintahkannya untuk menerima mahar dari suaminya?” Mereka menjawab bahwa memang demikianlah yang mereka lakukan. Tuhan menayai mereka atas dasar apa mereka melakukan hal itu. Mereka berkata, “ Wahi Tuhan, Engkau telah berfirman dalam kitab-Mu, “berikan pada kaum wanita mahar mereka sebagai pemberian suka rela.” [QS 4: 4]. Tuhan berkata, “Kalian benar.”
Maka sang suami akan berkata, “Tetapi mengapa Engkau mewajibkan padaku untuk membayar mahar kepadaya, sedangkan kami sama-sama menikmati kesenangan?”
Tuhan berkata, “Sebab Aku perbolehkan kamu untuk menikmati kesenangan dari yang lain-lain sementara dia bersamamu, sedangkan Aku melarangkanya untuk menikmati kesenangan dari yang lain-lain sementara kamu bersamanya. Karena Aku memperbolehkanmu dan melarangnya, Aku ingin memberikan padanya apa yang akan membuat kalian jadi setara, maka Aku tetapkan mahar itu sebagai haknya.” Lihat, Sachiko Murata, The Tao of Islam, hal. 235-236
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 229.
al-Qur’an, al-Nisa (4): 129.
Fazlur Rahman, Islam, hal. 340.
Terjemahan lengkap ayat Ketiga ini, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap (hak-hak) anak perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinlah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Surat al-Nisa: Ayat Pertama, [terjemah lengkapnya], “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan ‎(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain. Dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”
Ayat Kedua, Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya (perilaku menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.”
Para ahli tafsir sepakat bahwa sebab-sebab turunnya ayat ini berkenaan dengan perbuatan para wali yang tidak adil terhadap anak yatim yang berada dalam perlindungan mereka. Misalnya, Rasyid Ridha mengungkapkan, bahwa ada beberapa peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat ini, sebagiamna diriwayarkan oleh Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Bayhaqi dari Urwah ibn Zubair: “Dia bertanya kepada bibinya, Aisyah r.a. tentang sebab turunnya ayat ini. Lalu Aisyah menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan anak-anak yatim yang berada dalam pemeliharaan walinya. Kemudian walinya itu tertarik akan kecantikan dan harta anak yatim itu dan mengawininya, tetapi tanpa mahar.” Riwayat lainnya, juga dari Aisyah r.a., “ Bahawa ayat ini turun berkenaan dengan seorang laki-laki yang mempunyai banyak istri, lalu ketika hartanya habis dan ia tidak sanggup lagi menafkahi semua istrinya yang banyak itu, ia berkeinginan mengawaini anak yatim yang berada dalam perwaliannya dengan harapan dapat mengambil hartanya untuk membiaya kebutuhan istri-istri lainnya.” Ayat-ayat tersebut, menurut Abu Ja’far, sebagaimana dikutip oleh Rasyid Ridha, mengandung peringatan keras kepada manusia supaya bersikap hati-hati dan berbuat adil, baik terhadap anak yatim (perempuan) maupun kepada perempuan (umumnya). Karenanya, janganlah mengawini anak yatim jika takut terjerumus dalam berbuat aniaya dan dosa. Sekiranya takut berbuat aniaya dan dosa maka kawinilah perempuan lainnya yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Tetapi kalaupun takut berbuat tidak adil dan dosa maka kawinilah seorang saja, atau boleh mengawini budak-budak yang dimiliki. Lihat, Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Bairut: Dar al-fikr: tt. ), Jilid IV, hal. 344-346.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 232.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 232.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 232-233.
Ia adalah janda sahabat Nabi bernama Sakran ibn Amar yang meninggal dalam pengunsian ketika melarikan diri ke Habsyi dan meninggalkan istri dalam kesengsaraan. Satu-satunya cara untuk menolong wanita-janda malang ini, karena kemurahan hatinya dan pertimbangan rasa kemanusiaan, Nabi melamarnya menjadi istrinya. Saudah menerima lamaran Nabi, dia sudah berusia lanjut dan tidak punya lagi keinginan biologis kepada pria, dengan harapan akan dibangkitkan di surga bersama dengan istri-istri Nabi yang lainnya.
Dari segi fisik-biologis, ia merupakan satu-satunya istri Nabi saw. yang berusia muda dan perawan. Perkawinanya dengan Nabi itupun lebih disebabkan karena hasrat ayahnya, Abu Bakr al-Shiddiq yang ingin memperteguh hubungan persahabatannya dengan Rasulullah.
Hafsah adalah wanita janda ditinggal wafat suaminya yang gugur syahid dalam peperangan Badr. Karena sifat keras yang diturunkan dari ayahnya, Umar bin Khattab, sejak suaminya wafat dia tidak kawin-kawin. Melihat anaknya yang terus-menerus dalam kondisi menjanda buat Umar bin Khattab malu sendiri. Untuk itu ia menawarkan anaknya kepada sahabatnya, Abu Bakr, dan ketika Abu A‎Bakr menolak ia menawarkan kepada Usman bin Affan, tetapi sahabat yang disebut belakangan ini juga menolak ajakannya untuk kawin dengan anaknya. Penolakan kedua sehabat itu, tidak saja semakin membuatnya malu, tetapi sekaligus ia merasa terhina. Dalam kondisi merasa malu dan terhina itu ia pergi mengahadap Nabi untuk mengadukan persoalan yang dihadapinya dengan penuh emosi. Dengan sifat empatinya, Nabi menenangkan Umar bin Khattab dengan memutuskan akan mengawani anaknya.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 235.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 236-237.
Keperibadian Nabi yang peka terhadap perasaan wanita ini gambarakan dalam sebuah hadis. Suatu ketika Amrah binti Abdurrahman berkata: Rasulullah ditanya, “Ya Rasulullah, mengapa engkau tidak menikahi perempuan-perempuan dari kalangan Anshar yang beberapa di antara mereka terkenal cantik-cantik?” Rasulullah menjawab, “mereka perempuan-perempuan yang memiliki rasa cemburu yang besar dan tidak akan bersabar untuk dimadu. Aku mempunyai bebarapa istri, dan aku tidak suka menyakiti hati kaum perempuan berkenaan dengan hal itu.
al-Bukhari, “Kitab al-Nuikah”, Shahih al-Bukhari, Hadis ke- 4829; Shahih Muslimm hadis ke- 4482; Sinan al-Turmudzi, hadis ke- 3802. Dalam sejarah diketahui bahwa Ali bin Abi Thalib tidak pernah mau menyakiti hati nabi sekaligus menyakiti hati istrinya, putri nabi, Fatimah. Makanya, selagi Nabi dan Fatimah masih hidup Ali bin Abi Thalib tidak pernah menikahi wanita lainnya. Ali bin Abi Thalib baru melakukan praktek poligami setalah istrinya, Fatimah meninggal, beberapa bulan sepeninggalan Nabi.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 222.
Pada bagian lain Ameer Ali menyebutkan boleh jadi orang akan mengatakan bahwa tidak perlu sama sekali Rasulullah melaksanakan dan memperkenalkan kebiasan buruk poligami itu. Seharusnya Nabi saw. melarangnya sama sekali, sebagaimana Nabi Isa a.s. telah melarangnya sama sekali. Akan tetapi, kebiasaan poligami, seperti juga yang lainnya, tidaklah mutlak keburukannya. Menurutnya, buruk adalah suatu istilah yang relatif. Suatu perbuatan yang awalnya boleh jadi baik dan sesuai dengan konsepsi-konsepsi moral dalam suatu masyarakat dan dalam waktu tertentu; tetapi dengan perkembangan pemikiran pada diri seseorang dan perubahan nilai dalam masyarakat yang semula dianggap baik dapat berubah menjadi buruk dan sekaligus dapat dilarang penerapannya. Kalau meminjam istilah Nurcholish Madjid, disinilah letak diferensiasi antara al-khair dan ma’ruf. Keduanya dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “kebaikan”. Namun kedua kata tersebut tidak berkonotasi sama. Kalau istilah al-khair adalah kebaikan universal-normatif, suatu kebaikan pada tataran yang paling tinggi, dan kerenanya berlaku untuk segala ruang dan waktu. Sebaliknya, al-ma’ruf adalah kebenaran yang diakui benar bersifat relatif-oprasional, berlaku hanya dalam suatu ruang dan waktu tertentu. Lihat, Nurcholish Madjid, “Metodologi dan Orientasi Studi Islam Masa Depan”, dalam Jurnal Jauhar, Volume 1, No. 1, Desember 2000, hal. 5.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 229-230.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 232
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 323.
Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hal. 810.
Lihat, M. Quraish shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim…, hal.. 809-810.
Lihat, W. Montgemory Watt, Muhammad at Madina, (Oxford: OUP, 1956), hal. 293; lihat juga, Taufiq Adnan Amal, et. all., Tafsir Kontekstual Al-Qur’an, (Bandung; Mizan, 1989), hal. 66.
Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 258.
Lebih jauh, menurut Ameer Ali, Agama Kristen telah gagal dalam menghapus perbudakan. Kalangan geraja sendiri mempunyai budak-budak; dan dengan kata-kata yang nyata mengakui adanya lembaga perbudakan. Orang-orang Kristen yang mengklaim diri mempunyai peradaban tinggi melakukan kekejaman-kekejaman yang paling begis terhadap oang-orang malang yang mereka pelihara sebagai budak. Orang Kristen kulit putih tidak pernah mengakui dan mengesahkan anakanya yang lahir dari hubunan gelap dengan budak-budaknya yang wanita negro. Dengan perempuan-perempuan itu, mereka tidak dapat kawin sacara sah. Orang-orang Kristen tidak mampu menangkap dan mengerti semangat ajaran-ajaran yang dibawa Nabi-nya mengenai persamaan manusia dalam pandangan Tuhan. Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 261-262
Penanganan al-Qur’an terhadap masalah ini tidak jauh berbeda dengan pelarangan minuman keras dan riba. Terhadap kedua persoalan tersebut, al-Qur’an pada awalnya masih diperbolehkan, tetapi lambat-laun, al-Qur’an menyikapinya dengan sistimatis, dan pada gilirannya al-Qur’an menyatakan pengharamannya dengan tegas dan tuntas. Begitu juga dalam masalah perbudakan, sepertinya al-Qur’an, awalnya masih mentolerirnya, umpamanya al-Qur’an memerintahkan seseorang laki-laki memelihara kemaluannya kecuali kepada istri dan malakat yang mereka miliki, dan ini terjadi khususnya pada masa periode Mekkah, misalnya lihat, al-Qur’an, al-Nisa (4): 24, 25; al-Mu’minuun (23): 6; al-Ma’arij (70): 30. Tetapi pada periode Madinah upaya-upaya al-Qur’an dalam pembebasan budak sangat tampak dan jelas.
Misi kenabian Muhammad saw. yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat madani dalam tatanan sosial-moral yang adil, egalitarian, dan inklusif serta berlandaskan iman, tentu saja tidak dapat mentolerir hubungan yang timpang dan tidak wajar di antara sesama manusia; dan perbudakan merupakan sistem kehidupan yang paling jelas menggambarkan hubungan yang timpang dan tidak wajar tersebut yang sangat ditentang. Karena perbudakan, ibaratnya dua mata sisi yang berbahaya, tidak saja akan mencederai hubungan yang baik sesama manusia, tetapi sekaligus merusak hubungan kepada Tuhan. Perbudakan secara asasi bertentangan dengan ajaran Islam tentang tauhid yang melarang seseorang menghambakan diri kepada sesamanya atau lebih umum kepada ciptaan Tuhan lainnya. Sebaliknya, membiarkan perbudakan berarti juga syirik, sebab orang yang memiliki budak adalah seseorang menjadikan dirinya “tandingan” Tuhan. Padahal manusia hanya boleh menghambakan diri kepada Tuhan semata dan tiada Tuhan selain Allah. Lihat, Dawam Rahardjo, “Ensiklopedi al-Qur’an “Abd”, dalam Ulumul Qur’an, Nomor 1,Vol. V, Thn. 1994, hal. 43.
Begitu juga pada masa pemerintahan Khalifah al-Rasyidun, lagi-lagi menurut Syed Ameer Ali, tidak dikenal perbudakan dengan jalan jual beli. Sekurang-kurangnya, tidak ada data otentik yang menyebutkan bahwa terdapat budak yang diperoleh dengan jalan dibeli pada masa pemerintahannya. Tetapi baru kemudian, setelah munculnya keluarga Umayyah, terjadilah perubahan dan penyimpangan terhadap semangat dan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Mua’awiyah bukan saja orang pertama dalam sejarah Islam yang memberlakukan sistem pemerintahan Islam secara monarki, tetapi ia juga yang mula-mula memperaktekkan pembelian budak. Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 267.
Al-Qur’an, al-Nur (24): 33.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 265.
Lihat, al-Qur’an, al-Balad (90): 13. Untuk itu, dalam satu surat al-Qur’an yang diwahyukan dalam periode Mekkah awal, al-Qur’an telah mencanangkan “fakku raqabah” (membebasan budak dari perbuadakan) yang dilukiskan sebagai ‘aqabah, “menempuh jalan yang mendaki dan lagi sulit” Maka tidakah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar tersebut? Yaitu melepaskan budak dari perbudakan; atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan karabat atau orang miskin yang sangat fakir.” [ Al-Qur’an: Al-Balad ayat 11-14]. Kata “fakk”, menurut Quraish Shihab, hanya ditemukan sekali dalam al-Qur’an, yaitu hanya pada pada ayat ini. Kata ini maknanya berkisar pada arti-arti: membuka, melepas, membebaskan dan menghancurkan. Jadi dalam konteks ayat ini, fakku raqabah, berarti melepaskan tali (belenggu) yang mengikat leher seseorang atau membukanya, atau menghancurkannya, sehingga manusia tersebut memperoleh kebebasan bergerak. Upaya pembebasan manusia dari perbudakan harus lebih awal dilaksanakan. Islam memandang bahwa pembebasan manusia dari segala bentuk yang membelenggu dan merendahkan martabatnya kemanusiaannya harus dimulai lebih dini --untuk itu, ayat ini termasuk ayat al-Qur’an yang awal pada periode Mekkah-- karena setiap langkah maju guna mencapai kemaslahatan manusia dan masyarakat tidak dapat dirahi sebelum kehormatan manusia sebagai manusia dapat ditegakkan. Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim…, hal.. 809-810.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 262; lihat juga, Taufiq Adnan Amal, et.al., Tafsir Kontekstual Al-Qur’an, hal. 66.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 262.
Wanita-wanita yang tertawan dan dibeli selama perang berlangsung dengan orang kafir; dan bukan wanita-wanita yang dibeli diluar peperangan. Dalam peperangan dengan orang-orang kafir, biasanya wanita-wanita yang ditawan dibagikan kepada kaum Muslim yang ikut dalam peperangan tersebut; dan kebiasaan ini bukanlah sesuatu yang diwajibkan, artinya panglima perang boleh saja tidak mempratekkan kebisaan ini.
…. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (5), kecuali terhadap istri-istrinya atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela (6). Barang siapa yang mencari di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampau batas. Al-Qur’an, Al-Mu’minun (23): 5-7; bandingkan dengan juga dengan Al-Ma’arif (70): 29-31
Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari ni’mat Alah? Al-Qur’an, Al-Nahl (16): 71
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesunguhnya kebajikan …. dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji dan orang-orang yang sama dalam kesempitan, penderita dan dalam peperangan. Mereka itulah yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” Al-Qur’an, al-Baqarah (2): 177. Dan pada ujung ayat tersebut Allah mengklaim bahwa orang-orang yang memerdekakan budak termasuk salah seorang yang bertaqwa. Predikat ketaqwaan tersebut sangat layak dan logis untuk di sandang, bukankan memerdekan budak sebagai “jalan yang mendaki lagi sukar”.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 262. “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan oleh Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Al-Qur’an, al-Taubah (9): 60
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 263
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 263
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 263. “…. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya padamu….” Al-Qur’an, al-Nur (24):
Lihat, al-Qur’an, al-Taubah (9): 60
al-Qur’an, al-Nahl (16): 71; al-Qur’an, al-Taubah (9): 33; Ameer Ali, Spirit of Islam, hal. 263.
Ameer Ali, op.cit., hal. 263
Lihat, al-Qur’an, al-Nisa (4): 92
Lihat, al-Qur’an, al-Maidah (5): 89
Lihat, al-Qur’an, al-Mujadalah (56): 3
Al-Qur’an, al-Nur (24): 33
Al-Qur’an menyebutkan bahwa budak-budak wanita berimana termasuk wanita-wanita yang tidak haram dinikahi. Dan ketika menikahinya, di samping harus minta izin kepada tuannya, al-Qur’an menganugrahkan perhargaan kepada budak-budak wanita dengan cara mendapatkan mas kawin. [Al-Qur’an, al-Nisa (4): 24-25]. Lebih dari itu, al-Qur’an mengangkat derajat wanita-wanita budak yang beriman melebihi wanita-wanita yang merdeka, tetapi musyrik. Perbandingan ini tampak nyata dalam al-Qur’an ketika seseorang berkeinginan untuk mengawini wanita musyrik yang menarik hatinya, tetapi diingatkan oleh Allah bahwa budak-budak wanita yang beriman adalah lebih baik. Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya…Al-Qur’an, al-Baqarah (2): 221. Anjuran untuk menikahi budak-budak wanita merupakan salah satu cara Islam secara tidak langsung, dan tentu saja lewat lembaga pekawinan lebih efektif, untuk membebaskan budak wanita dari perbudakan. Kalaupun dia tidak sempat merdeka, tetapi karena diikat suatu pertalian suci, tentu saja perlakuan suami akan lebih beradab dan santun. Dan untuk pertimbangan masa depan, tentunya anak yang dilahirkannya adalah anak merdeka. Karenanya, al-Qur’an sepertinya, gencar mempromosikan agar seseorang mengawini budak-budak wanita mu’min, misalnya al-Qur’an menyarankan, “barang siapa yang kurang biaya” atau “agar terhindar dari perzinahan” maka nikahilah wanita-wanita budak yang mu’min. [al-Qur’an, al-Nisa (4): 25].
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 188.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 189.
Harun Nasution, Pemebaharuan Dalam Islam, hal. 184
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 197-198; bandingkan dengan Harun Nasution, Pemebaharuan Dalam Islam, hal. 184.
Ameer Ali, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam,hal. 191 dan 197
Menurut Ameer Ali, Nabi Muhammad saw tidak hanya ditujukan dan berbicara kepada orang-orang yang perpendidikan dan perpikiran maju yang jumlah sangat terbatas. Akan tetapi Agama yang dibawa oleh Nabi juga ditujukan kepada orang-orang awan kebanyakan yang tenggelam dalam dunia material. Karenanya Islam harus menyesuaiakan dengan pengertian dan pemahaman orang-orang awam tersebut. Bagi orang Arab yang liar dan kelaparan serta daerahnya gersang, apakah yang lebih dan paling menyenangkan gagasan tentang surga, misalnya kecuali sungai-sungai yang mengalirkan air yang bersih, susu dan madu atau tumbuh-tumbuhan yang rimbun dan buah-buahan yang segar yang tidak terkira banyaknya. Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 198.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 198.
Harun Nasution, Pemebaharuan Dalam Islam, hal. 185; Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 198.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 200-201
(al-Qur’an, al-sajadah [32]: 17)
Perumpamaan surga yang disediakan bagi orang-orang bertaqwa adalah bahwa di dalamnya terdadpat banyak sungai: ada sungai yang air dan rasanya tidak berubah, sungai susu yang rasanya tidak berubah, sungai khamar yang nikmat, lezat bagi peminumnya dan sungai madu murni…” (al-Qur’an, Muhammad [47]: 15).
Kebanyakan penghuni surga “cukup puas dengan kebun (jannah), tinimbang dengan pemilik kebun.” Atau dengan kata lain, “berhenti pada cipataan dan melupakan Sang Pencipta.” Disini dipilih kata “pemilik kebun” dan bukan kata “tukang kebun”. Karena kalau tukang kebun, sebagimana ketidaksetujuan Frithjof Schuon, ia berada dalam kebun dan memelihara kebun dan bukan sebaliknya. Seorang tukang kebun tidak mempunya peranan selain dari tugas profisionalnya, sedangkan Tuhan sebaliknya adalah raison d’etre dari surga, sehingga lebih tapat kalau dikatan Tuhan sebagai pemilik kebun. Apalah makna kebun kalau pemiliknya sudah kita miliki. Lihat, Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 181.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 199.
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 199.
Merujuk kepada kontroversi di antara sarjana Muslim yang sudah berlangsung lama, apakah berhenti (meletakkan tanda baca “titik”) setalah kata “Allah” ataukah setelah pada kata-kata “orang-orang yang mendalam imu pengetahuannya” pada ayat ini. Ibn Rusyd menyatakan bahwa ia lebih suka berhenti setelah kata-kata “orang-orang yang mendalam ilmu pengetauhannya.” Sebab dalam pandanganya, orang-orang yang mendalam ilmu pengetahuannnya mengetahui interpretasi (ta’wil) ayat-ayat ambigiutas (mutasyabihat) dalam al-Qur’an. Dalam hal ini, ia menjadikan ungkapan dalam kalimat itu (wa ’l-rasikhuna fi ’l-‘ilm yaquluna amanna bi-hi) disandarkan dari kata “Allah,” dalam ayat ini. Sehingga, menurut Ibn Rusyd, kalau diberi tanda baca dan interpretasi, ayat tersebut secara keseluruhan akan terbaca: “Dia-lah yang menurunkan al-kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamat (jelas dan pasti) --itu adalah essensi isi al-Qur’an-- dan yang lainnya (ayat-ayat) mutasyabihat (ambigiutas). Adapun orang-orang yang di dalam hatinya cenderung kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmu pengetauhannya. Mereka berkata: ‘Kami beriman di dalamnya (mutasybiahat), suamanya itu berasal dari sisi Tuhan kami’: tetapi hanya orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran.” Interpretasi Ibn Rusyd ini sesuatu yang asing. Pada kenyataannya, setelah pemeriksaan yang teliti melalui perbedaan penafsiran al-Qur’an tersebut, tidak ditemukan orang lain yang mempunyai pendapat sama dengannnya pada masalah ini. Lihat, Iysa A. Bello, The Medieval Islamic Controversy Between Philosophy and Orthodoxy: Ijma’ and Ta’wil in the Conplict Between al-Ghazali and Ibn Rushud, (Leiden-New York: E.J. Brill, 1989), hal. 50-51
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 200
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, hal. 202-203




DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Muhammad, “Kata Pengatar”, dalam Pengatar Filsafat Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1989
Ali, H.A. Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1992
Ali, Syed Ameer, The Spirit of Islam, Delhi: Idarah-I Adabiyat Delli, tt.
Amal, Taufiq Adnan dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an, Bandung; Mizan, 1989
Baljon, J.M.S., Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960), Leiden: E. J. Brill, 1968
Chejne, Anwar G., Muslim Spain Its History and Culture, Minneapolis: The University of Minnesita Press, 1974
Dahlan, Azis, (ed.), ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar baru van Hoeve, 1993
Eliada, Mircea, (ed.), The Ensyclopedia of Religion, vol. 1, New York: Macmilan Library Refeerence, 1995
Esposito, John L., (ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic world, (New York – Oxford: Oxfrd Iniveersity Press, 1995
Gibb, H.A.R., Aliran-Aliran Modeern Dalam Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 1996
___________ , Islam dalam Lintas Sejarah, H.A.R. Gibb, Islam dalam Lintas Sejarah, Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1983
___________ , The Ensyclopedia of Islam, Laiden: E.J. Brill, 1960
Glasse, Cyril, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Raja Arafindo Persada, 1999
Hodgson, Marshal G.S., The Ventur of Islam, Chicagi and London: the University of Chicago Press, 1974
Hourani, Albert, Arabic Thoughth in the Liberal Age 1798-1939, London & New York: Oxford University Press, 1962
Leamen, Oliver, Averroes and His Philosophy, Oxford: Clarendon Press, 1988
Madjid, Nurcholis, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997
______________ , Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bualn Bintang, 1984
______________ , “Metodologi dan Orientasi Studi Islam Masa Depan”, dalam Jurnal Jauhar, Volume 1, No. 1, Desember 2000,
Muhammad, Afif, “Pengantar”, dalam Malik bin Nabi, Membangun Dunia baru Islam, Bandung; Mizan, 1994
Mahmudunnasr, Syed, Islam Its concepts & History, New Delhi: Lahoti Fane Art Press, 1981
Murata, Sachiko, The Tao of Islam, Bandung: Mizan, 1999
Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Islam dan Pemikiran Orientalis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991
Nasr, Seyyed Hossein, Ideals and Realities of Islam, Lodon: Unwin, 1979
_________________ , Science and Civilization in Islam, Cambridge: Harvard University Press, 1968
_________________ , Teologi, Filsafat dan Gnosis, Jogyakarta: Pustaka, 1991
Nasution, Harun, (ed.), Ensiklopedi Islam, Jilid I, Jakarta: Depag, 1993
_____________ , Pemebaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,(Jakarata: Bulan Bintang,
Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Pustaka, 1984
Rahardjo, Dawam, “Ensiklopedi al-Qur’an “Abd”, dalam Ulumul Qur’an, Nomor 1,Vol. V, Thn. 1994
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Bairut: Dar al-fikr: tt. ), Jilid IV
Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, (Bandung: Mizan, 1993
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Tafsir atas Surat-surat Pendek Beredasarkan Urutan Turunnya Wahyut , Bandung: Pustaka Hidayah, 1997
Smith, Wilfred S., Islam in Modern History, New Jersey: Princeton University Press
Stanton, Charles Michael, Higher Learning in Islam: The Classical Period, 700-1300 Rowman & Litlefield Publisheers, inc, 1990
Syakir, Mahmud Muhammad, “Pengatar”, dalam Malik bin Nabi, al-Dzahirah al-Qur’an, Beirut: Dar al-fikr, 1979
Dominique Urvoy, Ibn Rushd (Averroes), London & New York: Routledge, 1991
Watt, W. Montgemory, Muhammad at Madina, Oxford: OUP, 1956
al-Bukhari, “Kitab al-Nikah”, Shahih al-Bukhari, Hadis ke- 4829; Shahih Muslimm hadis ke- 4482; Sinan al-Turmudzi, hadis ke- 3802