Jumat, 05 Maret 2010

ISLAM LIBERAL DAN RASIONAL: KAJIAN ATAS PEMIKIRAN SYED AMEER ALI

ISLAM LIBERAL DAN RASIONAL:
KAJIAN ATAS PEMIKIRAN SYED AMEER ALI
Oleh: Alimuddin Hassan Palawa*

Akal adalah hukum [Syariah] yang diwahyukan dalam diri manusia,
begitu pula hukum yang diwahyukan itu adalah akal di luar diri manusia….
Pendeknya, sumber dari semua sifat baik dan asal-usul
Dari semua kesempurnaan adalah akal.”
[Filosuf Safawiyah: Mulla Muhsin Faydh Kasyani]

A. Pendahuluan
Pada tataran realitas, ungkapan “al-Islâm yu’lâ wa la yu’lâ ‘alaîh” (Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengatasinya), sepertinya sudah tidak relevan karena tidak memenuhi kenyataan empirisnya, dan hanya bersemayam pada tataran idealitas. Benar, dulu umat Islam memang pernah membuktikan kebenaran ungkapan tersebut. Ungkapan itu hanya (telah) berlaku pada masa silam, tetapi tidak untuk umat Islam dewasa ini yang terpuruk. Kemudian, bagaimana objektivikasi ungkapan itu di masa sekarang dan mendatang? Sebelum mencapai kembali bahwa “al-Islam yu’la wa la yu’la ‘alaih”, terlebih dahulu umat Islam mesti membuktikah bahwa Islam adalah “Salih fi kulli zamân wa makân” (selaras dengan waktu dan tempat). Artinya, umat Islam seyogyanya mengejawantahkan agamanya agar dapat menghadapi dan menjawab tantangan modernitas di kekinian dan di kedisinian.
Dalam mencermati problem-problem dihadapi dunia Islam, di kalangan intelektual dan pemikir pembaharuan Muslim terdapat beberapa variasi pandangan dan pemikiran tentang sebab-sebab kejumudan, keterbelakangan dan kemerosotan kaum Muslim. Begitu pula, dalam mencari solusi pemecahan dari problem-problem tersebut terdapat beberapa varian pandangan dan pemikiran. Namun, rumusan sebab-sebab dan formula upaya-upaya pemecahan kejumudan, keterbelakangan dan kemerosotan umat Muslim tersebut, sepertinya masih jauh “panggang dari api.” Sehingga dewasa ini, menurut Nurcholish Madjid, dunia Islam (masih) merupakan kawasan bumi paling terkebelakang di antara penganut agama-agama besar di jagad ini.
Sebetulnya kondisi memilukan ini tidak perlu berlanjut hingga kini, minimal mengurangi jarak ketertinggalan, kalau saja umat Islam, misalnya mau menyahuti seruan gagasan beberapa pembaharu, khususnya seperti Muhammad Abduh dan Syed Ahmad Khan, masing-masing dari Mesir dan Indo-Pakistan, untuk kembali menangkap ajaran agama Islam yang lebih kreatif, dinamis dan logis, segaligus lebih otentik serta mampu menangkap “api Islam” dan meninggalkan “abunya”, sebagaimana yang pernah diperagakan oleh umat dalam sejarah Islam klasik selama berabad-abad. Namun kenyatannya tidaklah demikian, jangankan menangkap “api” Islam, umat Islam justru meninggalkan ajaran agamanya dan hanya menggenggam “abunya”. Karenanya, Muhammad Abduh benar ketika mengatakan, “umat Kristen maju karena meninggalkan agamanya; dan ummat Islam mundur karena meninggalkan agamanya.”
Jika direnungkan lebih mendalam ungkapan Muhammad Abduh ini akan menghasilkan argumen bahwa menjadi rasional dalam Islam adalah inheren (melakat dalam) agama itu sendiri, sedangkan pada orang Barat adalah tantangan terhadap agamanya. Jika alur logika ini diteruskan, argumen berikutnya bahwa menjadi modern dan ilmiah dalam Islam adalah konsisten dengan ajaran agama Islam, sedangkan pada orang Barat berarti penyimpangan dari agamanya. Belakangan, menurut Rahman, pandangan pemikiran semacam ini dipopolerkan dan diperdebatkan dengan intens oleh ahli hukum dan pemikir Anak-Benua India yang terkemuka: Syed Ameer Ali. Maka sangat logis dan relevan kalau ia mengungkapkan bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad bukanlah agama yang membawa kepada kemunduruan. Tetapi sebaliknya, Islam adalah agama rasional yang mengantarkan kepada kemajuan.
Untuk membuktikan pandangannya ini, Syed Ameer Ali kembali merujuk kepada sejarah kegemilangan/ kejayaan umat Islam klasik. Akan tetapi, pandangan dan sikap Syed Ameer Ali seperti ini tidak jarang oleh orang Barat (orientalis) dipandangnya sebagai apologia terbesar. Maksud Syed Ameer Ali mengungkapkan kejayaan Islam klasik, bukanlah sekedar untuk “onanisme” (pemuasan diri) sesaat, sembari menepuk-nepuk dada dengan bangga. Akan tetapi, curahan perhatian dalam kepentingan historis dan budaya Islam yang, menurut Rahman, tak diragukan lagi mempunyai beberapa kecenderungan:
…. dipergunakan sebagian untuk tujuan-tujuan kontroversialis melawan Barat dan sebagian sebagai tindakan apologetik untuk melindungi kepercayaan diri kaum Muslimin vis-vis budaya Barat yang kuat dan meluas. Tetapi ini jelas bukan masalah keseluruhannya, karena pada dasarnya motivasinya adalah pembaharuan. … dimaksudkan untuk mendorong kaum Muslimin agar menerima intelektualitas dan humanisme Barat modern sebagai perkembangan yang sebenarnya dari puncak peradaban Islam itu sendiri, bahkan sebagai pesan Islam yang sejati.
Lebih jauh dari itu, dalam pandangan Syed Ameer Ali, ada pelajaran menarik yang dapat dijadikan pengalaman historis: apa penyebab umat Islam klasik maju, dan apa pula penyebab (setelah itu) umat Islam menjadi mundur. Menurut Syed Ameer Ali, solusi-jawabnya singkat, meskipun tidak sederhana: Liberalisme dan rasionalisme Islam. Karenanya, lewat karya-karya, khusus karya masterpiece-nya, The Spirit of Islam, Syed Ameer Ali, melebihi penulis manapun, benar-benar telah menampilkan konsepsi Islam liberal dan rasional secara konkrit, substansial dan memuaskan. Pemikiran Syed Ameer Ali bahwa Islam adalah agama rasional dan liberal ini sangat berpengaruh di dunia Islam.
Tak pelak lagi, konsepsi Islam sedemikian ini telah mendapat pengakuan secara bulat dan penuh semangat dari umat Islam terpelajar yang sebelumnya secara diam-diam telah merasa dikecewakan atas penampilan konsepsi Islam yang konservatif dan tradisional. Sampai batas tertentu, dia telah berhasil mencapai sasarannya, dan bahkan lebih penting lagi, ia sukses menggerakkan ulama ortodoks-konservatif untuk menerima dan mendukung gagasan yang dipaparkan dalam bukunya tersebut.
Untuk itu, tulisan sederhana ini akan memaparkan pandangan-pandangan Syed Ameer Ali secara umum tentang sebab-sebab kejayaan umat Islam klasik; seraya diiringi dengan sebab-sebab kemundurannya. Berikutnya, tulisan ini menyorot, di antara sekian banyak pokok-pokok pemikirannya, untuk meninjau beberapa gagasan liberal-rasionalnya, tiga diantaranya tentang: (i) poligami dalam Islam; (ii) perbudakan dalam Islam; dan (iii) kehidupan eskatoloigi dalam Islam. Begitu pula, sebelum memaparkan ketiga pandangan-pandangan Syed Ameer Ali, terlebih dahulu diungkap jejak-jejak historis kejayaan Islam klasik dalam mengejawatahkan Islam liberal dan rasional, sebagai landasan-pijakan. Dan suatu keniscayaan bagi makalah ini untuk memulai dengan memaparkan riwayat hidup tokoh dimaksud seala-kadarnya.
B. Riwayat Hidup Syed Ameer Ali
Tidak diragukan lagi, Syed Ameer Ali merupakah salah seorang dari tokoh pembahruan pemikiran Islam yang sangat mondial. Ia seorang sejarawan, pengacara dan ahli hukum yang sangat menghargai liberalisme dan rasionalisme dalam bertindak dan berpikir. Syed Ameer Ali dilahirkan pada 6 April 1849 di Chinsura, Bengal, daerah di bagian Calcutta, India. Dia dilahirkan dari keturunan keluarga syi’ah yang, sebelum kelahirannya, berimigrasi dan untuk bergabung dengan sebuah komunitas kecil pengukit Muslim Syi’ah keturunan orang Iran (Persia). Kakeknya, Ahmad Afzal Khan adalah seorang prajurit angkatan bersenjata Nadir Syah yang ikut melakukan ekspansi ke Delhi, India, dan akhirnya menetap di sana. Sedangkan ayahnya, Sa’adat Ali Khan adalah seorang dokter dari keluarga yang terhormat dan kaya ketika itu. Keluarga ini bekerja di Istana Raja Moghol dan Awadh. Akhirnya keluarganya bekerja pada kompeni (Inggris) di India Timur.
Syed Ameer Ali memulai pendidikannya di Muhsiniyyah College di Calcutta. Di lembaga pendidikan inilah dia belajar bahasa Inggris, sastra dan hukum. Di samping itu dia juga belajar dasar-dasar agama langsung dari seorang maulvi (guru). Tetapi ia tidak pernah berhubungan secara signifikan dengan Bengali atau mengikuti pelatihan dan pendidikan dalam bahasa Arab secara substansial; pendidikanya dijalaninya dalam bahasa inggris, dan dilengkapi dengan bahasa Persia dan Urdu. Sedari dini ia sangat dipengarhui oleh sayyid Karamat Ali (1796-1876) yang menuliskan ajaran-ajarannya dalam bahasa Urdu dengan tradisi rasionalisme Mu’tazilah dan skolastisisme Syi’ah.
Minat Ameer Ali terhadap ilmu, khususnya tentang sejarah dan sastra telah terlihat sejak dia berusia dini. Terlihat misalnya, ketika di lembaga ini ia sudah membaca buku-buku penting, seperti The Dacline and Fall of the Roman Empire karya Gibbon, Paradise Lost karya Milton, dan beberapa karya Shakespeare. Karya Gibbon tersebut, misalnya telah selesai dibacanya ketika dia masih berusia dua belas tahun. Bahkan sebelum bersia dua puluh tahun Ameer Ali juga telah membaca karya-karya penting, misalnya karya Byron, Long Fellow, Keast dan penyair-penyair lainnya, misalnya karya Thackeray dan Scott serta karya Scelly sampai dihapalnya.
Setelah menyelesaikan pendidikannnya di kota Calcutta, dia melanjutkan pedidikannya di Inner Temple, Inggris di tahun 1869. Pada masa-masa inilah ia memulai menulis karya monumentalnya, The Spirit of Islam. Dia menyelesaikan pendidikannya dengan merahi gelar kesarjanaan dibidang hukum pada 1873. Setelah menyelesaikan pendidikannnya di Inggris, ia kembali ke India. Di tanah kelahirannya Ameer Ali bekerja dalam berbagai lapangan keilmuan yang penting. Di samping bekerja sebagai pegawai pemerintahan Inggris, ia juga menjadi pengacara, politikus dan bahkan sebagai guru besar dalam bidang hukum serta sekaligus sebagai seorang penulis yang produktif dan otoritatif. Ia dikenal sebagai orang yang luas pengetahuannya, sehingga namanya tidak asing di dunia Barat dan dunia Timur.
Di bidang politik, ditahun 1877 ia mendirikan perkumpulan orang Muslim India dengan nama National Muhammaden Association. Gerakan politik ini segera meluas menjadi organisasi yang berskala nasional dengan mempunyai 34 cabang yang tersebar dari Madras hinggga di Kerachi. Perkumpulan ini dibentuknya dimaksudkan untuk memberikan pendidikan politik dan upaya pengembangkan kesadaran politik serta sekaligus untuk menjaga kepentingan bagi ummat Islam di India. Sehingga, Syed Ameer Ali tidak sepenuhnya setuju dengan pendirian Sir Syed Ahmad Khan yang ingin memajukan ummat Islam hanya dalam bidang pendidikan. Menurutnya, upaya dilakukan Sir Akhmad Khan meniscayakan diiringi dengan pemikiran dan kegiatan dalam bidang politik. Belakangan pandangan Syed Ameer Ali ini dielaborasi dan M. Iqbal dan diaplikasikan Ali Jinnah dalam membentuk teori negara berdaulat, yaitu mendirikan negara Islam Pakistan berdaulat terlepasa dari negara India.
Dalam perjalanan aktivitasnya di dunia politik praktis pada 1883 ia ditetapkan salah seorang dari tiga anggota “The Victory’s Council” (Perwakilan Raja Inggris) berasal negeri jajahan di India; dan ia bahkan satu-satunya dari golongan Islam. Setalah berhenti di Pengadilan Tinggi Bengal di 1904, ia kembali ke London dan menetap di sana untuk tinggal beserta istrinya, Isabella Ida Konstam, seorang wanita berbangsa Inggris. Dua tahu keberadaannya di Inggris dia diangkat menjadi anggota “The Judicial Committee of the Privy Council” di London dan ia merupakan orang India pertama yang menduduki jabatan tersebut. Seperti halnya dengan Sir Akhmad Khan, Syed Ameer Ali merupakan pemimpin dan pemikir Muslim menyenagi dan dekat dengan pemerintahan Inggris. Oleh karena itu, baginya, pemerintahan Inggris adalah suatu alternatif untuk menghindari kemungkinan dan lepas dari dominasi orang-orang beragama Hindu di India setelah kemerdekaan diperolehnya.
Setelah berada di London, ia mendirikan cabang Partai Liga Muslim pada 1906. Namur, belakangan (1913) Syed Ameer Ali keluar dari organisasi tersebut karena Partai Liga Muslim bergabung dengan Partai Kongres Nasional India dibawah pimpinan Mahatma Ghandi untuk menuntut pemerintahan tersendiri dari Inggris. Selama keberadaannya di Inggris dia terlibat pula dalam upaya-upaya perundingan di London terhadap rancangan pembaharuan politik India. Setelah perang dunia I ia tampil dalam pergerakan Khilafah guna melobi pemerintahan Inggris. Suratnya bersama Agha Khan yang dikirim kepada Perdana Menteri, Ismet Pasha, kemudian menjadi presiden II Turki, menimbulkan tantangan keras di Turki. Belakangan khilafah di dunia Islam benar-benar di hapus sama sekali pada 1924. Akhirnya, tokoh rasionalis dan liberalis dalam melancarkan pemikiran dan gagasan-gagasan pembaharuan di Dunia Islam ini mengakhiri segala bentuk aktivitasnya, ketika ia memenuhi takdirnya kembali ke Asalnya, Tuhan. Syed Ameer Ali kembali kepangkuan Khaliknya dalam usia 79 (tujuh puluh sembilan) tahun, yaitu pada 3 Agustus 1928 di Sussex, Inggris. Innalillahi wa inna ilahi raji’un. Irji’i ila Rabbiki radhiyatan-mardhiyah. Selamat jalan pendekar liberal-rasional Islam.
C. Islam Liberal-Rasional: Mencarai Landasan Jejak Kejayaan Islam klasik
Sebagaimana semua bangsa-bangsa kuno, bangsa Arab sebelum kedatangan Islam adalah orang-orang yang fatalisitik, menyerahkan kehidupannya kepada nasib (takdir). Kehadiran Islam telah mencetuskan revolusi sikap dan pemikiran terhadap bangsa Arab. Ajaran Islam mengakui keunggulan manusia dengan memberikan kekebasan untuk mengatur dan menguasai alam (khalifah fi al-ardl). Syed Ameer Ali meyakini bahwa jaran Islam yang dibawah oleh Nabi Muhammad memberikan kebebesan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatannnya. Meskipun begitu, dibalik kebebesan yang dimiliki oleh manusia, buru-buru ia menambahkan, harus diiringi dengan pertanggungjawaban. Dalam pandangan Watt, ketika memberikan apresiasi pada buku The Spirit of Islam sekaligus kepada pengarangnya, “pada hakekatnya merupakan suatu paparan tentang Islam dan pendirian pengarangnya (‎Ameer Ali) yang mengejawatahkan semua nilai-nilai liberal yang dipuja pada masa ratu Victoria.” Lebih lanjut Watt memaparkan:
Amer Ali memandang Muhammad sebagai “Guru Agung,” seorang yang percaya kepada kemajuan, menjunjung tinggi penggunaan akal dan bahkan “pelopor Agung Rasionalisme,” ringkasnya ia seorang manusia yang benar-benar modern. Bagi Ameer Ali, Islam yang di bawah Muhammad dipandang sebagai agama paling ideal yang menanamkan suatu kepercayaan yang benar kepada Tuhan; dan menekankan kesucian moral serta etika yang agung. Muhammad mengangkat martabat dan derajat kaum wanita; ia memperbaiki nasib para budak dan mencela perbudakan; ia menganjurkan ilmu pengatuhan serta menegaskan tanggung jawab karsa bebes manusia.
Namun, dalam memberikan kebebesan kepada manusia, sepertinya, menurut sinyaleman Ameer Ali, al-Qur’an sepintas terkesan ambigiutas: disatu sisi ada beberapa ayat menyebutkan bahwa Allah mempunyai kehendak dan kekuasaan mutlak terhadap nasib manusia, misalnya ia mengutip ayat al-qur’an, seperti Tuhan “mengampuni siapa yang dikehendaki, dan menyiksa siapa yang dikehendaki;” “memberikan kekuasaan kepada yang dikehendaki” dan sebaliknya beberapa ayat menyebutkan bahwa Allah “mencabut kekuasaan dari orang yang dikehendaki. Begitu pula “dimuliakan siapa yang dikehendaki, dan menghinakan siapa yang dikehendaki ;” “melaksanakan kehendak-Nya …dan menetapkan bagi segala sesuatu dengan pasti;” “langit dan bumi adalah kepunyaan Allah dan apa yang ada di dalamnya, dan maha kuasa atas segala sesuatu;” dan beberapa lagi ayat al-Qur’an sejenis dikutipnya.
Akan tetapi, di sisi lain beberapa ayat mengungkapkan bahwa manusia mempunyai kebebesan untuk berkehendak dan berbuat, misalnya dia mengutip ayat, seperti Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum hingga meraka merubahnya sendiri; barang siapa yang sesat, ia sendiri yang memiliki seluruh tanggiungjawab kesesatannya; Sungguh Allah tidak menyuruh kamu berbuat keji; sekali-kali Allah tidak menganiya mereka, tetapi mereka yang sendiri menganiya dirinya; dan beberapa lagi ayat-ayat serupa lainnya.
Dengan kenyataan ayat-ayat kontradiktif tersebut, bagaimana kedua gagasan yang ada dalam al-Qur’an itu bisa dipersatukan? Menurut kesimpulan Ameer Ali, sesungguhnya “spirit” dari al-Qu’an terletak pada kebebesan kehendak manusia. Karena kalau Allah mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak terhadap kehendak dan perbuatan manusia; bagaimana dengan gagasan bahwa manusia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya? Jelas kiranya yang dimaksud dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an dengan “ketentuan dan takdir Tuhan”, menurutnya, dimakanai sebagai hukum alam (law of nature), sunnatullah.
Meskipun demikian, menurut pengakuannya lebih lanjut, tidak dapat disangkal, memang ada beberapa ayat menunjuk kepada gagasan kekusaan dan kehendak Allah terhadap kehendak dan perbuatan manusia, tetapi ia segera menambahkan, bahwa ayat-ayat itu dijelaskan pula oleh ayat-ayat yang lain, di mana kekuasaan Allah tersebut “digantung kepada syarat” kehendak manusia. Ameer Ali misalnya menyebutkan bahwa Allah akan menolong orang-orang yang memohon pertolongan kepada-Nya; Allah hanya akan merahmati orang-orang yang mencari dalam hatinya sendiri, yang mensucikan jiwanya dari keinginan-keinginan yang tidak murni dan semu.
Jadi, Syed Ameer Ali menyimpulkan, bahwa ajaran Islam tidak dijiwai oleh kada’ dan kadar atau paham jabariyah (predistination), yaitu manusia bersifat pasif dan pasrah merima ketentuan dan ketatapan Allah; tetapi lebih pada upaya dan ikhtiar manusia atau paham qdariyah (pree will dan pree act), yaitu manusia aktif dan bebas menentukan berkehendak dan berbuatnya sendiri. Lagi-lagi, menurut Ameer Ali, sebagaimana yang juga dikutip oleh Harun Nasution, faham qadariyah inilah selanjutnya yang menimbulkan liberalisme dan rasionalisme dalam Islam. Paham ini pada gilirannya mengantarkan ummat Islam klasik pada kegemilangan peradaban dan kejayaan ilmu pengetuhan.
Al-Qur’an sendiri pada dasarnya memberikan apresiasi dan penghagaan terhadap penggunaan akal yang dimiliki oleh manusia. Sehingga rasionalitas menjadi ukuran dan pembeda hakiki antara manusia dengan makhluk hidup yang lain. Akallah yang memberikan kemampuan kepada Adam (manusia), misalnya, untuk mengenal dunia sekelilingnya. Atas dasar kemampuan akal itulah manusia dipilih oleh Tuhan sebagai khalifahnya di bumi; dan bukan malaikat meskipun senatiasa bertasbih memuji Allah dan mengkuduskannya. Dengan begitu, al-Qur’an mengakui keunggulan manusia dan memberikan kebebesan untuk menguasai dan mengatur alam. Tetapi meskipun begitu, dibalik kebebesan manusia itu harus diiringi tanggungjawab, baik sosiologis maupun teologis.
Dalam pada itu, Nabi Muhammmad sendiri dalam memaknai firman Allah tersebut juga memberikan kebebasan kehendak dan keharusan penggunaan akal, sebagaimana yang termaktub dalam sabda-sabdanya. Sabda-sabda Nabi itu sangat berbekas di kalangan para sahabat, sehingga kebebasan dan rasionalitas mula-mula tumbuh di Madina. Gagasan kebebasan dan rasionalitas ini mendapat bentuk yang lebih kukuh lewat kata-kata Ali bin Abi Thalib. Kemudian, dari sini gagasan ini menyebar ke Basrah dan Kufah, dan pada akhirnya sampai di Baghdad lewat sarjana-sarjana Islam liberal dan rasional, seperti Ja’far al-Shadik, dan Hasan Basri, seorang sufi yang rasional serta Washil bin Atha’, pendiri aliran rasionalisme secara formal, Mu’tazilah.
Melalui aliran Mu’tazilah rasionalisme dalam Islam menyebar keseluruh masyarakat terpelajar yang ada dalam pemerintahan dinasti Abbasyiah, sehingga lahir beberapa orang filosuf Islam, seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Razi, Ibn Sina dan lainnya. Bahkan resonansi rasionalisme bergaung di beberapa perguruan tinggi yang ada di Andalusia dengan ditandai laihirnya beberapa orang filosuf, seperti Ibn Bajjah, Ibnu Masarrah dan Ibn Tufail serta berpuncak pada diri Ibn Rusyd. Pada masa itu berkembang ilmu dengan dahsyatnya ditandai lahirnya ahli dalam berbagai disiplin ilmu, misalnya kedokteran, fisika, matematika, astrologi, sejarah dan ilmu lainnya.
Berkenaan dengan ini, banyak indikasi yang menunjukkan, bahwa Islam pada masa klasik telah terlibat dalam perdebatan yang cukup luas dan ramai, dalam suasana kehidupan intelektual yang lebih bebas dan terbuka daripada masa-masa sesudahnya. Sehubungan dengan ini Nurcholish Madjid, mengatakan:
Agaknya pada dua abad pertama Islam banyak beredar hadits-hadits yang menjunjung tinggi akal. Tetapi karena hadits-hadits itu lebih mendukung “kaum liberal”, maka dalam perkembangan lebih lanjut dikenakan prasangka sebagai lemah dan tidak sah, sehingga juga tidak banyak dimuat dalam kitab-kitab hadits hasil pembukuan masa-masa sesudahnya. Sebagai contoh, adalah seorang pemikir Islam, al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, yang wafat pada 243 H (tujuh puluh tahun sebelum wafat al-Bukhari). Dia adalah salah seorang tokoh “rasionalis” yang sangat dini dalam Islam, yang meninggalkan karya-karya tulis sistematis. Dia juga seorang agamawan yang saleh dengan kecenderungan kesufian yang kuat”.
Beranjak dari hadis-hadis yang mengagungkan dan kebebesan penggunaan akal, Syed Amier Ali menyimpulkan, bahwa Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad tidak sedikitpun mengandung suatu yang dapat merintangi kemajuan dan menghambat perkembangan intelektualitas manusia. Lalu apa sebabnya, sejak abad kedua belas Masehi, pemikiran rasional dan liberal (filsafat) hampir lenyap dan akhirnya faham jabariyah dan anti rasionalisme berkembang di dunia Islam?
Sebagaimana telah disinggung, bahwa hadits-hadits tentang akal itu banyak ditolak oleh sebagian ulama atau sekurang-kurangnya diragukan keabsahannya. Paling tidak penyebab awal dan utamanya adalah gara-gara kaum Mu’tazilah sendiri, yang di awal sejarah perkembangan pemikiran Islam disebut-sebut sebagai pelopor penggunaan akal, tetapi dalam perkembangannya lebih lanjut, ternyata Mu’tazilah tidak luput dari lembaran hitam sejarah yang memalukan dunia pemikiran bebas. Menurut Nurcholish Madjid, ketika kaum Mu’tazilah mendapat angin oleh rezim Abbasiyah di Baghdad, karena ajaran mereka diangkat menjadi aturan resmi negara, yaitu di masa kekhalifahan al-Makmun, mereka justri melancarkan apa yang dikenal dengan mihna.
Ketika Mutawakkil naik menjadi khalifah situasi politik berbalik secara total. Dalam masyarakat ada aliran sifatiah dianut mayoritas masyarakat di lapisan bawah dan dipimpin oleh ulama dari kalangan ahli hadis, hukum, dan para qadi yang selama ini tidak mendapat tempat dan bahkan termasuk mendapat siksa akibat proses mihnah, misalnya termasuk Imam Ahmad bin Hambal. Maka pada masa khalifah Mutawakkil ulama-ulama ahl rijal mendapat tempat strategis, dan akibatnya kaum rasionalis dan liberal tersingkir dari pusat kekuasaan dan bahkan diusir dari Baghdad. Tidak hanya itu, menurut Sayed Amier Ali, pengajaran filsafat dan ilmu pengetahuan rasional di larang dan beberapa perguruan tinggi ditutup. Bahkan buku-buku filsafat yang telah dihasilkan dibakar dan pengarangnya dibunuh. Dalam pada itu, Abu Hasan al-Asy’ari tampil dengan memproklamirkan aliran teologi baru, yaitu Asy’ariyah. Teologi ini pada dasarnya menafikan kebebesan manusia dan mengurangi peran dan fungsi akal. Pada akhirnya aliran teologi inilah yang berkuasa dan menjadi anutan resmi mayoritas ummat Islam. Dengan tersingkirnya paham kebebasan dan rasionaliatas dalam Islam, maka umat Islam menjad “sakit” dalam kemunduran.
Dalam perkembangan sejarah lebih lanjut, persengketaan antara kaum ortodoks dan kaum rasionalis, akhirnya secara formal dimenangkan oleh kaum ortodoks. Sekurang-kurangnya, secara lahir mereka mendominasi pemikiran keagamaan hingga dewasa ini. Akan tetapi, patut disayangkan, menurut Nurcholish Madrid, dalam banyak hal kaum ortodek memiliki sikap-sikap tidak adil kepada kitab suci. Jika kaum ortodoks berhasil membendung rasionalitas dengan menaruh curiga yang berlebihan kepada hadits-hadits tentang akal, tetapi mereka (kaum ortodoks) tidak berbuat apa-apa terhadap ayat-ayat suci yang dengan tegas sekali memberikan apresiasi terhadap akal, dan sekaligus mendorong manusia agar menggunakan akalnya.
D. Islam Liberal dan Rasional: Kasus Poligami
Pada semua bangsa-bangsa di masa kuna, poligami dipandang sebagai suatu kebiasaan yang dapat dibenarkan. Lebih dari itu, poligami --karena dilakukan oleh raja-raja [keturunan dewa-dewa yang berkuasa di bumi] melambangkan ketuhanan-- dipandang oleh orang banyak sebagai perbuatan suci. Seiring dengan ini, perempuan pada masa pra-Islam tidak mempunyai harkat dan martabat kemanusiaan. Perempuan tidak lebih hanya sebagai barang komoditas yang diperjual-belikan. Praktek poligami yang tak terbatas itu, misalnya terjadi pada bangsa-bangsa, seperti Babelonia, Mesir, Persia, India, dan Yunani. Praktek poligami semacam ini tetap berlanjut hingga kehadiran agama Kristen yang membenci perkawinan secara umum.
Ketika Nabi Muhamaad saw. datang poligami didapatinya dipraktekkan oleh semua orang, tidak saja oleh kaumnya, tetapi juga oleh orang-orang dari negeri-negeri tetangga. Pada masa tersebut praktek poligami mendapat bentuknya pada titik nadir yang paling rendah, meskipun agama Kristen telah berusaha untuk memperbaiki keadaan ini, tetapi tetap tidak berhasil. Dalam kondisi seperti itu, Nabi saw. melakukan pembaharuan dengan memberikan kepada perempuan hak-hak yang sebelumnya tidak pernah dimilikinya. Perempuan diberikan kedudukan dan derajat sema dengan pria dalam segela aspek kehidupan. Misalnya, al-Qur’an menyebutkan: “Mereka mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya secara patut, akan tetapi kaum pria mempunyai satu tingkat lebih tinggi dari kaum perempuan.” Meskipun ayat ini menggariskan bahwa “pria mempunyai satu tingkat lebih tinggi dari perempuan”, tetapi Islam pada bagian lainnya, mengajarkan agar pria dan perempuan tetap setara, maka Allah menetapkan kewajiban bagi pria untuk memberikan mahar kepada perempuan.
Lebih jauh, agama yang dibawa oleh Nabi saw., menurut Ameer Ali, juga untuk mengendalikan poligami dengan membatasi perkawinan dalam masa yang sama, dan diiringan dengan peringatan dan peraturuan agar kaum pria berlaku seadil-adilnya:
Perlu dicatat bahwa ayat al-Qur’an yang membolehkan kawin empat sekaligus, segera diiringi oleh kalimat yang membatasi arti kelimat sebelumnya, sehingga kandungannya menjadi normal dan patut. Ayat itu bunyinya demikian: “Kamu boleh mengawini perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga, atau empat”; tidak boleh lebih dari itu. Baris-baris ayat ini seterusnya berbunyi, “ tetapi jika kamu kuatir tidak dapat berlaku adil dan benar terhadap semuanya, maka kamu harus mengawini seorang saja.” Betapa pentingnya pengecualian ini, terutama arti kata “adil” (adl) dalam ayat al-Qur’an ini, sehingga benar-benar menjadi perhatian yang besar bagi pemikir-pemikir dalam dunia Islam. Adil bukan semata-semata berarti persamaan perlakuan dalam hal tempat kediaman, sandang dan keperluan rumah tangga lainnnya, tetapi juga berarti tidak membeda-bedakan sama sekali dalam hal cinta, kasih-sayang dan kehormatan. Mengingat keadilan secara mutlak tidak dapat diwujudkan dalam soal perasaan, ajaran ayat al-Qur’an ini sebenarnya sama dengan larangan.
Pada bagian akhir kutipan diatas, nyata sekali, menurut Ameer Ali, sebagimana ditegaskan oleh al-Qur’an bahwa “kamu tidak akan mampu berlaku adil kepada istri-istrimu;” Karenanya, kawinilah satu orang saja, sekiranya kamu tidak mau berlaku tidak adil. Artinya, kalau kita beristri lebih dari satu, berat dugaan kalau suami akan belaku aniaya terhadap istri-istri yang dimiliki. Kemudian ia menyimpulkan bahwa ayat ini sama saja artinya dengan pelarangan atas poligami.
Ayat al-Qur’an [surat al-Nisa: ayat 3], sebagaimana yang dikutip oleh Amer Ali di atas, acap kali dijadikan landasan normatif untuk melakukan poligami. Padahal dalam memahami ayat ini dengan baik dan benar, mestilah dihubungkan dengan dua ayat sebelumnya; begitu pula azbab al-nuzul (sebab-sebab diturunkan) ayat ini juga tidak boleh diabaikan. Karena kalau kedua cara memahami ayat itu diabaikan, niscaya pemahaman terhadapa ayat tersebut menjadi tidak integratif dan a historis (melenceng dari konteks waktu ayat diturunkan). Konsekwensinya pememahaman yang demikian itu akan menjadi salah dan menyimpang dari makna ayat yang sesungguhnya.
Kalau dilihat “sekilas mata” terdapat kontradiksi antara idealita “sprit” Islam tentang perkawinan monogami dengan realitas “lahiri” perkawinan Nabi yang poligami. Pandangan “sekilas mata” inilah dipergunakan oleh non-Islam (orientalis), untuk melontarkan celaan kepada Nabi saw. Pandangan semacan ini, menurut Ameer Ali, karena para pencela tersebut tidak mengatahui persoalan sebenarnya atau kurang jujur untuk mengakui dan menghargainya. Padahal kalau “ditatap lama” masalahnya menjadi lain. Ameer Ali mengatakan:
Kalau saja orang mengetahui sejarah lebih baik dan lebih tepat dalam memberikan penilaian terhadap kenyataan-kenyataan itu, maka orang tentu akan melihat bahwa Rasulullah bukanlah seorang jalang yang memperturutkan hawa nafsunya, tetapi seorang yang memberikan pengorbanan yang tidak ringat, walau ia dalam kemiskinan…menerima beban untuk menoloang wanita-wanita yang dinikahinya, Kami percaya bahwa analisa yang teliti memandang motif-motif perkawinan tersebut dari perspektif kemanusian akan mempelihatkan kepalsuan dan ketidakadilan tuduhan-tuduhan dilontar kepada “manusia Arab yang mulia” itu.
Agaknya Ameer Ali “disibukkan” melakukan pembelaan dari berbagai tuduhan atas praktek poligami yang dilakukan oleh Nabi saw. dengan jalan mempreteli motif-motif dan latar belakang dari kesuluruhan perkawinan Nabi saw dengan sebelas orang istri-istrinya. Untuk membuktikan bahwa Nabi saw bukan seorang yang “jalang dan haus seks”, misalnya Ameer Ali mengungkapakan perkawinan pertama Nabi (diusia 25 tahun) yang pertama dengan Khadijah (diusia 40 tauhan). Perkawinan pertama Nabi ini berlangsung selama 25 (dua puluh lima) tahun; dan berakhir dengan wafatnya Khadijah. Selama kawin dengan khadijah, ia tidak ada mengawini wanita lain (monogami), meskipun masyarakat umum sangat membenarkan sekiranya Nabi mau melakukannya.
Perkawinan Nabi saw. dengan sejumlah istrinya, selain yang pertama dengan Khadijah, bukanlah perkawinan yang “wajar atau normal.” Disebut tidak wajar dan normal kerena Nabi saw. melakakukan perkawinan tidak dilatarbelangi oleh cinta erotis (hubb al-syahawat), tetapi lebih pada kasih sayang (mawaddah). Perkawinan Nabi semacan ini tidak menekankan pada hubungan kepuasaan jasmani (biologis), tetapi melompat kepada hubungan kepuasaan nafsani (psikologis). Berbeda dengan perkawinan wajar yang menekankan pada hubungan kepuasan biologis bermaksud untuk saling memberikan “kenyamanan” (rekreatif) dan keturunan (reproduktif).
Karenannya, perkawinan Nabi selain yang pertama, kalau ditelusuri lebih seksama satu persatu mempunyai motif dan latarbelakang kemanusian universal dan demi kepentingan dakwah (syiar) bagi agama baru yang dibawanya. Motif dan latar belakang perkawinan Nabi saw. seperti ini, mislanya sangat jelas pada perkawainan keduanya dengan Saudah; perkawinan ketiganya dengan Aisyah; dan perkawinan keempatnya dengan Hafsah. Begitupula dengan istri-istri Nabi berikutnya, seperti Hindun Ummi Salmah, Ummi Habbah dan Zainab Umm al-Masakin. Tiga istri Nabi ini adalah wanita-wanita janda ditinggal pelindungnya dalam menegakkan syiar agama Islam.
Sedangkan perkawinan Nabi berikutnya jelas untuk memberikan pertolongan kemanusiaan, mislanya perkawinan dengan Zainab [janda dicerai Zaid, anak angkat nabi]; Jawairiyah [tawanan yang dimerdekakan Nabi, dan meminta Nabi agar mengawininya; Safiah [wanita Jahudi menjadi tawanan dan dimerdekakan Nabi dan dijadikan istri atas permintaannya sendiri; dan yang terakhir dengan Maimunah [wanita tua yang miskin berusia lebih lima puluh tahun yang dikawini Nabi untuk memberikan nafkah] . Karena dari istri-istri Nabi, selain Aisyah, merupakan wanita-wanita yang rata-rata sudah berusia, janda dan mempunyai anak. Dan dari istri-istrinya selain Khadijah, tidak lagi dikarunia anak. Jadi dari data-data ini jelaslah bahwa alasan Nabi berpoligami sangat jauh dari hasrat memenuhi kepuasaan biologis, seperti dituduhkan kepadanya.
Biarpun Nabi Muhammad sendiri nyata-nyata melakukan poligami, tetapi Nabi saw. melarang untuk melakukan praktek poligami. Karena dalam perkawainan yang “wajar” poligami pada hakekatnya mengandung unsur yang dapat menyakiti hati wanita. Misalnya, Nabi saw. sendiri menolak tawaran untuk mengawini wanita cantik lantaran khawatir akan menyakiti hati wanita tersebut. Begitu juga, Rasulullah tidak mengizinkan menantunya, Ali bin Abu Thalib untuk memadu putri tercintanya, Fatimah al-Zahrah dengan wanita lain. Dalam riwayat dinukilkan dari al-Mizwar ibn Makhraman, menyatakan bahwa ia telah mendengar Rasulullah berpidato di mimbar:
Sesunggunya anak-anak Hisyam ibn Mugirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putrinya dengan Ali. Ketahuhilah, “bahwa aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali jika Ali bersedia menceraikan putriku, dan menikahi anak mereka. Sesunggguhnya Fatimah adalah bagian dari diriku. Barangsiapa yang membahagiakannya berarti ia membahagiakanku; sebaliknya barangsiapa yang menyakitinya berarti ia menyakitiku.
Pada kondisi-kondisi tertentu dalam perkembangan sosial, terkadang poligami merupakan suatu yang tak terhindarkan, dan dengan sendirinya dapat dibenarkan. Dalam peperangan mislanya, pada masa lampau, dapat mengurangi populasi pria dan kelebihan populasi wanita, sehingga poligami merupakan tuntutan masyarakat tersebut. Begitu pula, pada masyarakat yang belum maju dan tidak mempergunakan rasionalitasnya secara memadai serta dalam kondisi tertentu akan memandang poligami suatu yang terpuji. Karena ajaran yang dibawa oleh Nabi saw. berlaku untuk semua golongan dan berlaku untuk setiap masa, seperti diakui Ameer Ali, maka poligami bukanlah kejahatan yang harus disesalkan.
Namun, dewasa ini, menurut Ameer Ali, semakin manusia mempergunakan rasionalitasnya (akal sehat) dan semakian maju peradaban seseorang (bangsa), akan lebih mudah dimengerti akibat negatif poligami, dan arti pelarangannya semakin mudah dipahami. Pada gilirannya, bagi kelompok ini dengan mudah sepakat bahwa poligami bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Ameer Ali, misalnya menyebutkan bahwa dalam pandangan Mu’tazilah yang rasionalis sangat menentang sistem perkawinan poligami, dan mereka adalah termasuk kalangan penganut monogami yang taat. Oleh karena itu, menurut Mu’tazilah perkawinan dimaknai sebagai “persatuan untuk seumur hidup antara pria dan perempuan dengan menjauhkan yang lainnya.” Berdasrkan pada pandangan Mu’tazilah ini, dewasa ini mungkin mahar lebih baik diganti dengan komitmen, seperti: “kita hidup bersatu dalam kesetiaan, dan kita hanya boleh dipisahkan oleh kematian”(?)
Karena terobsesi oleh sistem monogami, Ameer Ali berharap, “sangatlah kita harapkan bahwa tidak lama lagi ada sidang umum dewan ulama Islam yang mengeluarkan fatwa atau/ pernyataan mengikat bahwa poligami, seperti juga perbudakan, dinyatakan bertentangan dengan hukum Islam.” Akan tetapi, harapannya ini akan tinggal sebagai harapan yang utopis dan malah mungkin absurd. Karena ada satu hal, mungkin dilupakan Ameer Ali, bahwa ulama tidak mungkin dapat bersatu pendapat, apa lagi dalam kasus pelarangan poligami.
E. Islam Liberal dan Rasional: Kasus Budak
Term budak, dalam perbincangan keseharian, kerapkali disandingkan dengan term hamba. Padahal, antara kedua term tersebut mempunyai diferensiasi makna yang cukup siknifikan. Kalaupun harus dipersamakan maka buru-buru harus ditambahkan dengan kata “sahaya” sehingga menjadi “hamba sahaya”. Mengingat term yang disebut pertama lebih berkonatasi kepada hubungan dan pengabdian manusia kepada Tuhan; sementara yang disebut belakang lebih diidentikan dengan hubungan dan pengabdian seseorang tertentu terhadap tuannya. Lagi pula, term “budak” –sebagai term hubungan manusia dengan manusia (habl min al-Nas) [sesuai dengan defenisi di atas] mengandung makna bahwa ketika seseorang telah menjadi budak, maka dengan sendirinya hak dan kebebasannya menjadi sirna. Sedangkan term “hamba” --sebagai term hubungan manusia dengan Tuhan (habl min Allah)-- hak dan kebebasan manusia di hadapan Tuhan sedikitpun tidak terenggut. Karena dengan hanya bertuhankan pada Allah justru berarti manusia terbebas dari berbagai bentuk perbudakan. Karenanya, Islam diawali pembebasan terhadap tuhan-tuhan, dan dilanjutnya peneguhan Tuhan Esa.
Untuk mengungkapkan kedua term “hamba” dan “budak”, al-Qur’an mempergunakan kata yang berbeda. Untuk term yang disebut duluan, term hamba, al-Qur’an mempergunakan kata “’abd”. [Untuk term ini, hanya sekali dijumpai dalam al-Qur’an yang beronotasi kepada hubungan antara manusia (lihat, al-Qur’an, al-Baqarah (2): 221). Namun term ini (‘abd) akan acapkali diketemukan dalam al-Qur’an khusus pada hubungan manusia dengan Allah. [Lebih lanjut term ‘Abd tidak menjadi penting karena tidak relevan dengan pembahasan dalam tulisan ini]. Artinya penghambaan yang dibolehkan al-Qur’an hanya kepada Allah; sementara penghambaan terhadap manusia, manurut al-Qur’an dan Nabi adalah terlarang. Karena itu, menurut panelitian Quraish Shihab, tidak ditemukan dalam al-Qur’an kata raqabah yang dinisbatkan kepada orang-orang Mukmin. Dengan kata lain, tidak ditemukan dalam al-Qur’an kata rikabatukum atau riqabukum. Hal ini untuk memberikan pelajaran bahwa kalau pun seseorang satu dan lain hal memiliki budak, maka orang tersebut tidak boleh memperlakukannya sebagai budak yang terbelenggu lehernya.
Sementara untuk term yang disebut belakangan, term budak terkadang al-Qur’an mempergunakan kata “raqabah” dan di lain tempat al-Qur’an mempergunakan kata “malakat aimânukum”. Kata raqabah terulang di dalam al-Qur’an, menurut Quraish Shihab, sebanyak enam kali dalam bentuk tunggal; dan dalam bentuk jamaknya, riqab, sebanyak tiga kali. Kata ini pada mulanya berarti “leher”, kemudian diartikan sebagai manusia yang terbelenggu (terikat lehernya) dengan tali, demikianlah memang nasib dan keadaan budak-budak pada zaman dahulu. Sementara kata malakat aîmanukum di dalam al-Qur’an tercantum juga sebanyak enam kali; dan empat di antarnya berkonotasi khusus kepada budak-budak wanita dalam melakukan “hubungan” dengan tuannya baik tidak lewat pernikahan ataupun lewat pernikahan. Mengingat kesan yang diperoleh dari istilah raqabah diatas sangat buruk; menggambarkan seseorang terbelenggu lehernya, seperti binatang, al-Qur’an memilih untuk tidak menamai mereka dengan ‘abd (hamba sahaya), tetapi menamai mereka sebutan malakat aimanukum (apa yang dimiliki oleh tangan kananmu).
Dalam al-Qur’an, sembari memberikan perumpaan, Allah mendefenisikan sendiri bahwa budak adalah seseorang “hamba sahaya yang dimiliki dan tidak dapat bertindak sesuatu apapun”. Dari batasan ayat ini didapatkan pemahaman bahwa budak adalah seseorang yang dikuasai dan tidak dapat berbuat sesuatu apapun atas namanya sendiri; atau tidak dapat berbuat apapun tanpa sepengetahuan dan seizin tuannya (al-Qur’an, Al-Nahl [16]: 75). Bahkan lebih dari itu, budak berkewajiban mengikuti jejak tuannya dalam berbagai kehidupan, termasuk mengekor dalam hal kehidupan dunia dan kepercayaan-keagamaan. Seorang budak tidak punya hak kesempatan untuk berbeda pandangan, apalagi membantah pendapat tuannya. Seorang budak tidak mempunyai hak untuk menolak perintah tuannya; dan berkewajiban untuk menaati apapun permintaan dan hasrat tuanya, termasuk ajakan untuk melacur diri demi keuntungan dan kepuasan sang tuan. Nasib seorang budak sangat tergantung dari tuannya; kebebasan dan kemerdekaanya berada dalam genggaman tuannya; si tuan berhak menjatuhkan hukuman apapun; si tuan tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan imbalan kebaikan kepada budak yang dimilikinya. Pendek kata, budak tidak mempunyai hak-hak apapun, tetapi mempunyai kewajiban-kewajiban sedemikian banyak dan besar.
Budak dalam beberapa hal dapat dibandingkan dengan poligami. Seperti halnya poligami, perbudakan juga ada pada semua bangsa. Kedua hal ini, khusunya yang disebut belakangan, lambat laun akan menjadi terhapus seiring dengan bertambah majunya pemikiran dan peradaban serta dengan semakin tumbuhnya rasa kemanusiaan dan keadilan ummat manusia terhadap sesamanya. Sehingga dapat dipahami, kalau tempo dulu perbudakan tetap saja eksis sepanjang sejarah anak manusia, terutama pada masyarakat primitif hingga sampai lahirnya agama Kristen, satu mellenium yang lampau. Bahkan agama yang dibawa oleh Nabi Isa (Alaihi al-Salam) itu, dengan ajaran “kasihnya”, dapat dikatakan gagal mengelaminir, apalagi menghapuskan praktek-preketek perbudakan di muka bumi. Memang perbudakan pada masa-masa itu masih merupakan suatu “keniscayaan” hidup yang tak terbantahkan.
Periode Mekkah. Ketika Islam datang lewat Nabi Muhammad (Shallallahu A’laihi Wasallam), perbudakan tetap merupakan menjadi fenomena dan realitas hidup keseharian. Dan sepertinya, al-Qur’an sendiri “lamban” dan “tidak tegas” menagani masalah ini; bahkan seolah-olah Islam masih “melegitimasi” adanya perbudakan . Padahal sesunguhnya “ruh” (semangat dan spirit) Islam menentang dan melarang praktek-praktek perbudakan, sebagaimana yang diajarkan al-Qur’an dan dilakukan Rasulullah. Sementara itu, tujuan al-Qur’an dan misi kenabian adalah untuk menciptakan masyarakat madani (civil sociaty) dengan tata kehidupan etika-moral yang adil, egalitarian, dan inklusif serta berlandaskan iman. Kalaupun perbudakan tetap eksis di tengah-tengah masyarakat pada awal kenabian, realitas tersebut hanya dapat “diterima” secara tentatif dan untuk sementara waktu.
Pada masa awal sejarah Islam, Nabi Muhammad hanya mentolerir perbudakan lantaran menjadi tawanan perang. Inilah satu-satunya perbudakan yang dapat dibenarkan oleh hukum, sampai mereka ditebus atau tawanan itu sendiri yang menebus kemerdekaannya lewat upah pekerajaan atau lewat dengan cara lain. Tetapi apabila tawanan/budak tersebut tidak mempunyai sumber penghasilan, Nabi mengguggah hati nurani dan kesalehan ummat Islam --ditambah pula dengan tanggungjawab berat diletakkan di atas pundak orang memiliki budak-- dan ini menjadi sebab akhirnya budak tersebut dibebaskan. Karenanya sedari awal, periode Mekkah, Al-Qur’an sudah mencangankan fakku raqabah, membebaskan manusia dari perbudakan.
Di Mekah, karena kukuhnya sistem perbudakan dalam struktur masyarakat Arab --di antara membebaskan budak bukan perkara mudah, tapi harus lewat jalan yang mendaki lagi sulit-- serta penghapusannya akan menimbulkan gejolak yang besar, maka fenomena ini di tangani oleh al-Qur’an secara persuasif dan bertahap. Lagi pula, ketika di Mekkah, Nabi Muhammad dan pengikutnya masih merupakan golongan minoritas tertekan. Sementara itu kalau dipaksakan penghapusan budak tersebut dapat berakibat fatal bagi nasib kelangsungan agama yang baru dibina.
Dalam pada itu, karena sistem perbudakan merupakan tatanan kehidupan yang sudah sangat mapan, sehingga al-Qur’an tidak mungkin dengan serta-merta melarangnya dan harus lebih bijak dalam merespon persoalan yang ada pada masa itu. Sikap al-Qur’an yang permisif dan masih metolerir perbudakan terlihat, misanya masih dibolehkan praktek-praktek si tuan laki-laki agar “menjaga kemaluannya, kecuali kepada istri dan budak-budak (wanita) yang mereka miliki”, menurut al-Qur’an, ”dalam hal ini mereka tidak tercela”. Meksipun dibolehkan praktek-prektek seperti ini dikaitkan dengan himbauan moral, menurut al-Qur’an, demi menjaga kemaluan dan memelihara kehoramtan seorang laki-laki. Karenanya, al-Qur’an sendiri segera menambahkan, “barang siapa yang mencari di balik itu,” [misalnya seperti berzina, dan praktek-praktek seksual lain yang terlarang], menurut al-Qur’an, “maka mereka itulah orang-orang melampaui batas.”
Meskipun demikian, dalam kondisi struktur ekonomi masyarakat Mekkah yang timpang; adanya jurang yang terjal antara yang miskin dan kaya; serta antara yang kuat dan yang lemah, al-Qur’an acap kali mengkritik kaum bangsawan yang konglemerat karena mereka tidak mau memberikan sebagian rezeki meraka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar budak-buak mereka juga turut merasakan rezeki tersebut. Al-Qur’an menyebutkan bahwa sikap orang-orang kuat dan kaya tersebut sebagai bentuk pengingkaran terhadap nikmat Allah.
Dalam ayat periode Mekkah ini, al-Qur’an tidak melarang dan mengutuk perbudakan itu sendiri secara langsung, tatapi yang dikutuknya adalah sikap orang-orang kaya dan kuat Mekkah yang tidak mempunyai kepedulian dan tidak mau menyantuni budak-budak yang mereka miliki yang, tentu saja, telah berbuat banyak kepada tuannya. Sementara tindakan perbudakan itu sendiri harus secara bertahap dan tidak dapat dipaksakan penerapannya seketika. Karena pembebasan manusia dari perbudakan harus bersumber dari kesadaran dan sikap batin dari manusia terhadap sesamanya. Cara inilah ditempuh al-Qur’an hingga Rasulullah dan para sahabat berhasil sewaktu berada di kota Madinah.
Periode Madinah. Ketika Rasulullah masih berada di Mekkah penanganan masalah pembebasan perbudakan diupayakan secara radikal karena harus diselaraskan dengan situasi faktual dan kondisi objektif ummat Islam saat itu. Maka setelah hijrah dan menetap di Madinah, ayat-ayat al-Qur’an turun dengan lebih gencar dan sistimatis serta lebih radikal sebagai upaya untuk menghapus sistem perbudakan yang tidak sempat dituntaskan sewaktu masih di Mekkah. Karenanya, dalam surat al-Baqarah, termasuk sebagi surat yang pertama kali diturunkan di Madinah, Allah mengajarkan betapa mulia dan agung kebajikan yang dimiliki bagi orang yang memerdekakan budak, sampai-sampai Allah menyamakan kebajikannnya beriman kepada-Nya, beriman hari akhirat, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan al-birr al-wâlidaîn. Begitu pula, dalam pembebasan perbudakan, pemberian harta untuk membebaskan budak yang semula dikategorikan sebagai sedekah belakangan disamakan dengan pembayaran zakat. Karena itu, al-Qur’an menyebutkan bahwa zakat yang terkumpul juga dimaksudkan untuk memerdekakan budak.
Seiring dengan ayat tersebut di atas, dalam upaya-upaya yang lebih intens, menurut Ameer Ali, Nabi saw. memerintahakan pengikutnya tanpa jemu-jemu atas nama Allah, karena membebaskan budak adalah perbuatan yang paling diredhai oleh ‎Allah. Lebih jauh Ameer Ali memamarkan sikap Nabi saw terhadap perbudakan:
Ia menetapkan bahwa budak dizinkan untuk menebus kebebasan dirinya dengan jalan upah pekerjaannya. Kalau budak yang malang itu tidak mempunyai pengahasilan dan bermaksud mencari pengahasilan demi menebus kebebasannya, maka mereka harus diperkenankan oleh tuannya dengan suatu perjanjian. Ia juga menentukan bahwa budak harus diberikan dana dari perbendaharaan negara guna menebus kemerdekaannya. … Rasulullah memerintahkan agar memperlakukan para budak dengan ramah dan santun, sebagaimana perlakuan kepada keluarga dan tentangga atau seperti pada teman seperjalanan. Dianjurkan untuk “memberikan sebagian harta kekayaan yang dianugrarhkan Allah kepadamu.” Para majikan dilarang mempergunakan kekuasaanya dalam melampiaskan hawa nafsunya kepada budak yang dimilikinya. Pembebasan budak dilakukan sebagai tebusan karena membunuh seorang Islam dengan tidak sengaja, dan perbuatan kesalahan lainnya.
Dari kutipan di atas nyata sekali bahwa salah satu cara dalam agama Islam untuk menghapus perbudakan adalah diperkenankannya seorang budak meminta (menuntut) kemerdekaannya pada tuannya dengan perjanjian bahwa ia akan membayar sejumlah uang yang ditentukan. Dan untuk lebih capat lunasnya perjanjian tersebut hendaklah budak-budak itu ditolong dengan harta yang diambil dari zakat. Begitu pula ajaran-ajaran al-Qur’an dibawa oleh Nabi mengharuskan menyantuni; memberi zakat; dan memperlakukan budak secara ramah, baik, dan adil serta manusiawi.
Pada sisi lain, al-Qur’an juga mempuyai cara tersendiri dalam mengupayakan pemebebasan budak. Bagi seseorang yang melakukan pelanggaran ajaran agama, maka kaffarah alternatifnya adalah membebaskan budak. Misalnya, pertama, apabila seseorang membunuh dengan tidak sengaja orang mukminm, kaffarahnya, disamping membayar “diat”, adalah membebaskan budak; kedua, bagi seseorang yang bersumpah dan melanggar sumpahnya maka hukumannya, kalau tidak memberikan makanan dan pakaian kepada keluarga, maka harus memerdekakan budak; ketiga, bagi orang-orang yang menzihar istrinya, sebelum berhubungan kembali dengan istrinya, maka hendakalah ia memerdekakan budak.
Sementara itu, kalau pada periode Mekkah, al-Qur’an masih mentolerir si tuan “menggauli mamalakatnya” di luar nikah, maka pada periode Madinah al-Qur’an tampak sekali berupaya untuk mengangkat derajat kaum wanita, sehingga kalau si tuan berhasrat ingin “menggauli” budak-budak wanitanya dianjurkan terlebih dahulu menikahinya secara sah. Untuk itu, al-Qur’an tidak memperkenankan lagi si tuan memaksakan hasrat lebido seksnya kepada budak-budak wanita yang mereka miliki, apapun alasanya, termasuk demi menjaga kemaluan dan kehormatan, sebelum nikahi dengan baik-baik. Bahkan Islam mengajarakan bahwa mengawini wanita budak lebih baik dari wanita-wanita merdeka, tetapi musyrik.
F. Islam Liberal dan Rasional: Kehidupan Eskatologi
Gagasan mengenai kehidupan eskatologi --kehiudupan kedua setelah kematian di dunia ini-- merupakan gagasan umum pada setiap bangsa di masa lampau, meskipun penjabarannya berbeda satu dengan lainnya. Lagi pula, kehidupan eskatologis termasuk doktrin keimanan semua agama-agama, khususnya agama Semit. Sehingga mempercayai kehidupan eskatologis merupakan bagian penting bagi eksistensi hidup manusia. Namun, apabila kenyataan ini diperhatian berkaitan dengan perkembangan peradaban manusia, maka konsepsi tentang eskatologis juga merupakan perkembangan wajar dari pemikiran umat manusia. Syed Ameer Ali mencontohkan, masyarakat tidak berperadaban hampir-hampir tidak mempunyai banyangan mengenai kehidupan setelah kehidupan di dunia ini.
Bangsa Mesir dikatakan sebagai bangsa pertama kali mengenal kehidupan kedua (eskatologis) setelah kehidupan sekarang ini. Agama Yahudi pada mulanya tidak mengenal adanya kehidupan akhirat; dan dengan sendirinya tidak mengenal adanya ganjaran dan hukuman atas perbuatan yang telah dilakukan. Karena seluruh sistem hukum agama Yahudi hanya berkisar pada ganjaran dan hukuman yang diperoleh di dunia ini semata. Namun, orang-orang Israil yang tinggal di Mesir memasukkan paham kehidupan eskatologi tersebut beserta pemahaman adanya ganjaran dan hukuman diperoleh nantinya ke dalam sistem ajaran mereka. Begitu pula dengan agama-agama sebelum Islam, seperti agama Zoroaster dan Kristen, pada umumnya menggambarkan adanya kehidupan eskatologi beserta balasan yang diperoleh di dalamnya. Akan tetapi, ganjaran kebahagian dan balasan kesengsaraan akan diperoleh dalam bentuk jasmani, dan bukan dalam bentuk rohani.
Ketika Islam hadir pada bangsa Arab, gagasan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad tentang kehidupan akhirat pada mulanya dipengarhui oleh pandangan-pandangan yang berkembang pada waktu. Sehingga konsepsi Islam mengenai kehidupan eskatologis bersifat eklektisisme. Akan tetapi, menurut Ameer Ali, gagasan utama dan terpenting mengenai kehidupan eskatologis dalam pandangan Islam adalah:
…. berdasarkan keimanan bahwa kehidupan setelah kematian, setiap manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia ini, baik laki-laki maupun perempuan. Dan bahwa kebahagian dan kesengsaraan seseorang sangatlah tergantung bagaimana cara mereka melaksanakan perintah-perintah Penciptanya. Akan tetapi, rahmat dan kasih-sayang-Nya tidak terbatas dan akan dikaruniakan-Nya dengan adil kepada makhluk-Nya. Inilah intisari keseluruhan ajaran Islam tentang kehidupan di akhirat. Dan inilah satu-satunya ajaran yang wajib dipercayai dan terima. Sementara unsur-unsur lainnya hanyalah tambahan yang diambil dan disesuaikan dari tradisi berkembang di kalangan bangsa-bangsa pada masa itu.
Berbagai ayat al-Qur’an awal, sebagian besar diturunkan di Mekkah, menggambarkan tentang konsep surga dan neraka secara realistis dan materialistis dengan rumusan bahasa yang mudah dipahami oleh orang kebanyakan di padang pasir. Gambaran surga dan neraka seperti itu, kata Ameer Ali, diambil dari khayalan yang beredar di antara pengikut Zoroaster, Saba dan orang Yahudi yang berpegang kepada Talmud. Mislanya gambaran tentang surga (firdaus) beserta hauri-hauri (bidadari-bidadari) adalah gagasan yang diambil dari keprcayaan orang-orang Zoroaster dari Zendavesta; sedangkan gambaran tentang neraka beserta hukuman yang mengerikan berasal dari kepercayaan orang-orang Yahudi dari Talmud.
Gagasan tentang balasan kebaikan (surga) dan hukuman kejahatan (neraka) sesudah mati merupakan janji dan ancaman yang manjur untuk mempengaruhi tingkah laku manusia baik secara individual dan kolektif. Kebajikan dilaksanakan demi kebajikan itu sendiri , kata Ameer Ali, hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang perpikiran maju; sebaliknya bagi awam (orang kebanyakan) yang tidak terpelajar akan selalu memerlukan janji-janji dan sanksi-sanksi sebagai motivasi. Karenanya, berbicara tentang surga dan neraka dalam pengertian kenikmatan ruhani dan penderitaan spritual, hampir-hampir tidak mungkin diungkapkan kepada masyarkat awam tanpa mempergunakan kata-kata yang dapat divisualisasikan.
Pada awalnya, gambaran ayat-ayat al-Qur’an tentang surga dan neraka sangat bersifat materialistik. Ini mislanya dapat terlihat pada ayat-ayat yang turun di Mekkah. Karena al-Qur’an diturunkan pada masyarakat yang tidak sama tingkat kecerdasan dan tingkat kesadaran spritualnya, maka bagi masyarakat awam al-Qur’an tampil dengan menggambarkan surga, seperti taman yang asri dan nyaman, dialiri oleh air. Dan di dalam surga seorang dapat menikmati kenyamanan yang sangat bersifat bendawi (material), seperti makanan buah-buahan, minuman susu dan madu serta bidadari-bidadari (pelayan-pelayan) yang secara langsung memberikan gambaran kenyamanam kehidupan seksual. Begitu pula, neraka digambarkan sebagai api yang berkobar-kobar yang bahan bakarnya teridiri dari batu dan manusia itu sendiri. Gambaran seperti ini perlu untuk meningkatkan moral masyarakat awam dalam melaksanakan kebaikan dan meninggakan kejahatan.
Gambaran al-Qur’an tentang balasan dan siksaan di akhirat mengalami perkembangan pada diri Nabi Muhammad sesuai juga dengan tingkat perkembangan kecerdasan umat Islam pada waktu:
…. Pada awalmuya kesadaran keagamaan Nabi Muhammad saw. sendiri yang percaya kepada beberapa tradisi yang beredar di sekitarnya. Tetapi dengan tumbuhnya kesadaran yang lebih mendalam, semakin mendalam pula rasa penyatuan dengan Pencipta Semesta. Maka pikiarn-pikiran sebelumnya yang hanya melihat pada aspek kebendaan, kemudian melihat pada aspek spiritual. Perkembangan pikiran Rasulullah tidak saja karena dengan perjalanan dan perkembangan kesadaaraan keagamaannya, tetepi juga karena dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran pengikutnya dalam menangkap konsepsi-konsepsi spiritual. Karenanya, dalam surat-surat yang turun belakangan terlihat leburnya sifat-sifat kebendaan dalam sifat-sifat keruhanian; leburnya jasmani dalam jiwa.
Jadi dibalik gambaran-gambaran kehidupan akhirat baik di surga maupun di neraka ada pengertian spritual yang abstrak lebih mendalam dan hakiki. Akan tetapi, karena pengertian surga dan neraka itu bersifat spritual-abstrak maka tidak ada seorang pun yang mengetahui hakekatnya, sebagaimana firman Allah: “Tidak seorang pun yang mengetahui (kebahagian yang mutlak itu) yang disembunyikan (dirahasikan) bagi mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” Begitu pula mengenai gambaran-gambaran surga, mislnya berupa air yang mengalir, sungai madu, sungai susu, sungai arak, dan taman-taman berserta buahnya, serta bidadari hanyalah sebagai tamtsil-‘ibarah. Begitu pula gambaran al-Qur’an tentang kondisi kehidupan neraka (api menéala-nyala) harus pahami sebagai tamtsil-‘ibarah. Karenanya, dalam memahami perumpamaan (tamtsil) tentang surga dan neraka ini harus menyeberangi (‘ibarah) makna yang ada dibaliknya (memahami secara batini).
Dengan berkembangnya pemahaman Nabi Muhammad dan diiringi dengan perkembangan pemahaman sebagian dari umat Islam dengan tingkat kecerdasan dan kesadaran spritual yang tinggi. Maka gambaran al-Qur’an yang semula bersifat material itu tidak terlalu berarti dan tidak diperlukan lagi. Pada gilirannya pemahaman seperti itu diganti dengan pemaknaan secara simbolik. Lebih dari itu, kebahagian yang paling hakiki kelak di akhirat adalah ketika tersingkapnya tudung ilahi yang memisahkan Tuhan dengan hambanya yang saleh; dan ini surga sesungguhnya. Nabi bersabda: “Yang paling diredhai oleh Allah ialah orang yang melihat (kemulian) Tuhannya diwaktu petang dan pagi. Inilah kesenangan yang melebihi segala kenikmatan badani…” Pada kesempatan lain Rasullah bersabada:
Allah menyediakan bagi hamba-hambanya apa yang tidak pernah didengar oleh telinga; tidak pernah dilihat oleh mata; dan tidak pernah terbetik dalam hati sekalipun. Lalu diucapkan ayat al-Qur’an berikut: “ tidak ada seorangpun yang mengetahui kegembiraan yang disembuynikan bagi mereka sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
Dalam mencermati ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat metaforis, sebagian mazhab pemikir hukum Islam memasukkan sebagai ayat-ayat mutasyabihat, dimana pengertian yang sesungguhnya hanya Allah yang mengetahuinya. Sementara pemikir Islam dari kalangan filsafat dan tasawuf lebih jauh memaknai ayat-ayat al-Qur’an tentang surga dan neraka sebagai kebahagian dan kesengsaraan yang bersifat subyektif dan ruhani semata. Karena dalam padangan mereka kesengsaraan atau kebahagian rohani lebih menyakitkan atau lebih menyenangkan dibandingkan kalau bersifat ragawi. Artinya, kehadiran raga akan mereduksi kebahagian dan kesengsaraan yang sesungguhnya. Padahal surga dan neraka adalah tempat pembalasan yang paling sempurna. Karenanya, pandangan para filosuf dan sufi menyatakan bahawa hanya jiwa yang dibangitkan dan kembali kepada Allah.
Akhirnya, Ameer Ali menyimpulkan, cukuplah sudah bukti-bukti kesalahan atas pandangan yang menyatakan bahwa gagasan-gagasan Nabi saw. tentang kehidupan eskatologi keseluruhannya bersifat meterial dan badaniah. Untuk itu, ia menutup pembahasannya mengenai kehidupan eskatologi ini dengan mengutip ayat al-Qur’an yang menunjukkan betapa dalam aspek-aspek sepritual dalam Islam, sebagai berikut: “wahai jiwa yang tenang dan damai! Kembalilah kepada Tuhan-Mu dengan ridha dan meridahai. Masuklah di antara hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
G. Kesimpulan
Jejak Kejayaan Islam. Umat Islam klasik mempunyai kedikjayaan dalam bidang politik, ekonomi dan perdagangan, lantaran mereka mengamalkan ajaran-ajaran yang langsung diwarisi dari Nabi saw. Di antara konsep hidup yang diwarisi itu adalah penghargaan kepada akal [menggunakan akal secara rasional dan liberal]; sikap hidup yang tidak fatalis. Akan tetapi, umat Islam kehilangan segala kekayaan dimilikinya ketika mereka mengabaikan konsep dan sikap hidup tersebut. Karenanya, ketika umat Islam ingin kembali membangun ulang kejayaannya masa lampunya, maka kunci utamanaya: rasionalisme dan liberalisme.
Poligami Dalam Islam. Islam pada dasarnya, menurut Syed Ameer Ali, tidak mengharamkan poligami. Karena pada kondisi tertentu poligami dapat dibenarkan dan malah boleh jadi dianjurkan. Akan tetapi, sprit ajaran Islam tidak memperkenankan poligami. Disimpulkan pria yang berpoligami dapat dipastikan tidak akan berlaku adil terhadap istri-istrinya; dan perempuan yang dimadu juga dapat pastikan tidak meresa nyaman dengan kondisinya tersebut. Padahal perkawinan dalam Islam meniscayakan berangkat dari keadilan; dan muara yang ingin dituju adalah kenyamanan (kebahagian) itu sendiri.
Budak Dalam Islam. Dalam pandangan Syed Ameer Ali, Islam nyata sekali melarang perbudakan. Nabi Muhammad saw. sendiri telah bersungguh-sungguh untuk menghapus perbudakan dalam Islam dengan berbagai cara. Perbudakan ibarat dua mata pisau, bukan saja pengingkaran terhadap kemanusiaan, tetapi sekaligus pengingkaran terhadap ketuhanan: sang majikan meniadakan kemanusiaan seseorang (dzalim); dan sang budak mengakui adanya dua sandaran dan pengabdian kehidupan (syrik). Islam dengan Nabinya hanya mengakui perbudakan lewat tawanan perang. Artinya ketika peperangan sudah tidak ada perbudakan menjadi absurd. Tetapi dewasa ini, muncul perbudakan ala modern. Manusia tidak lagi diperbudak oleh sesama manusia, tetapi malah diperbudak oleh dirinya sendiri [oleh pekerjaannya, misalnya] atau dipeerbudak oleh hasil cipta-karsanya sendiri, suatu kehidupan yang lebih ironis, sesungguhnya.
Eskatologi Dalam Islam. Gagasan pokok dan utama tentang kehidupan eskatologis dalam Islam, menurut Syed Ameer Ali, adalah tempat mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang telah dilakukan di dunia fana. Sementara gagasan lainnya, misalnya apakah kehidupan eskatologis itu bersifat badaniah atau spritual itu adalah merupakan percabangannya. Konsepsi eskatologis dalam Islam mengalami perkembangan, seiring dengan kematangan pemikiran keagamaan dan kedalaman spiritualitas seseorang. Sehingga, pada gilirannya spirit ajaran Islam dalam kehidupan akhirat lebih menekankan pada ganjaran dan balasan bersifat spritual dan rohani.
Wa Allah a’lam bi al-Sawâb.
Ma al-Taufiq wa al-Hidayah illa bi Allah



















Ciputat, 7 Mei 2002
*Penulis adalah alumni Aqidah-Filsafat, Ushuuddin UIN (dulu IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Kini Tenaga pengajar di Fakultas Tarbih dan Keguruan UIN SUSKA Riau.; kini sedang studi pada Program Pascasarjana (S3) di almamaternya, UIN Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, Muhammad, “Kata Pengatar”, dalam Pengatar Filsafat Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1989
Ali, H.A. Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1992
Ali, Syed Ameer, The Spirit of Islam, Delhi: Idarah-I Adabiyat Delli, tt.
Amal, Taufiq Adnan dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an, Bandung; Mizan, 1989
Baljon, J.M.S., Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960), Leiden: E. J. Brill, 1968
Chejne, Anwar G., Muslim Spain Its History and Culture, Minneapolis: The University of Minnesita Press, 1974
Dahlan, Azis, (ed.), ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar baru van Hoeve, 1993
Eliada, Mircea, (ed.), The Ensyclopedia of Religion, vol. 1, New York: Macmilan Library Refeerence, 1995
Esposito, John L., (ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic world, (New York – Oxford: Oxfrd Iniveersity Press, 1995
Gibb, H.A.R., Aliran-Aliran Modeern Dalam Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 1996
___________ , Islam dalam Lintas Sejarah, H.A.R. Gibb, Islam dalam Lintas Sejarah, Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1983
___________ , The Ensyclopedia of Islam, Laiden: E.J. Brill, 1960
Glasse, Cyril, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Raja Arafindo Persada, 1999
Hodgson, Marshal G.S., The Ventur of Islam, Chicagi and London: the University of Chicago Press, 1974
Hourani, Albert, Arabic Thoughth in the Liberal Age 1798-1939, London & New York: Oxford University Press, 1962
Leamen, Oliver, Averroes and His Philosophy, Oxford: Clarendon Press, 1988
Madjid, Nurcholis, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997
______________ , Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bualn Bintang, 1984
______________ , “Metodologi dan Orientasi Studi Islam Masa Depan”, dalam Jurnal Jauhar, Volume 1, No. 1, Desember 2000,
Muhammad, Afif, “Pengantar”, dalam Malik bin Nabi, Membangun Dunia baru Islam, Bandung; Mizan, 1994
Mahmudunnasr, Syed, Islam Its concepts & History, New Delhi: Lahoti Fane Art Press, 1981
Murata, Sachiko, The Tao of Islam, Bandung: Mizan, 1999
Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Islam dan Pemikiran Orientalis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991
Nasr, Seyyed Hossein, Ideals and Realities of Islam, Lodon: Unwin, 1979
_________________ , Science and Civilization in Islam, Cambridge: Harvard University Press, 1968
_________________ , Teologi, Filsafat dan Gnosis, Jogyakarta: Pustaka, 1991
Nasution, Harun, (ed.), Ensiklopedi Islam, Jilid I, Jakarta: Depag, 1993
_____________ , Pemebaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,(Jakarata: Bulan Bintang,
Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Pustaka, 1984
Rahardjo, Dawam, “Ensiklopedi al-Qur’an “Abd”, dalam Ulumul Qur’an, Nomor 1,Vol. V, Thn. 1994
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Bairut: Dar al-fikr: tt. ), Jilid IV
Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, (Bandung: Mizan, 1993
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Tafsir atas Surat-surat Pendek Beredasarkan Urutan Turunnya Wahyut , Bandung: Pustaka Hidayah, 1997
Smith, Wilfred S., Islam in Modern History, New Jersey: Princeton University Press
Stanton, Charles Michael, Higher Learning in Islam: The Classical Period, 700-1300 Rowman & Litlefield Publisheers, inc, 1990
Syakir, Mahmud Muhammad, “Pengatar”, dalam Malik bin Nabi, al-Dzahirah al-Qur’an, Beirut: Dar al-fikr, 1979
Dominique Urvoy, Ibn Rushd (Averroes), London & New York: Routledge, 1991
Watt, W. Montgemory, Muhammad at Madina, Oxford: OUP, 1956
al-Bukhari, “Kitab al-Nikah”, Shahih al-Bukhari, Hadis ke- 4829; Shahih Muslimm hadis ke- 4482; Sinan al-Turmudzi, hadis ke- 3802

Tidak ada komentar:

Posting Komentar